Polisi sedang menjaga sebuah mesjid di Karachi (CNI) |
“Pemerintah agaknya acuh-tak-acuh terhadap bentrokan dan terhadap penyelesaian atas perselisihan di antara pihak-pihak yang bersaing. Ketakutan dan kekerasan menghantui semua orang,” kata Pastor Diego Saleh, direktur Komisi Keadilan dan Perdamaian tingkat keuskupan.
“Melalui doa-doa harian untuk perdamaian, Gereja berusaha menenangkan umat,” kata Pastor Diego.
Lebih dari 30 orang telah dibunuh dalam tiga hari terakhir melalui apa yang dikenal dengan istilah target killings (pembunuhan yang telah ditargetkan). Delapan politisi dari partai-partai yang saingan dibunuh pada 16 Juni. Pria-pria bersenjata menduduki beberapa gedung, sementara yang lain melakukan penjarahan.
Saima Mushtaq, seorang pekerja lapangan dari Caritas, mengatakan ia harus mencari rute alternatif beberapa kali pada 16 Juni untuk menjemput anaknya dan membawanya pulang setelah kuliah.
“Saya takut ketika mendengar berita bahwa Saddar Market dikepung. Beberapa jalan telah diblok, tetapi kami akhirnya bisa sampai di rumah dengan selamat,” katanya.
Dominic Gill, sekretaris eksekutif Caritas Pakistan Karachi, mengatakan untuk ke kantor, stafnya mempertaruhkan hidup mereka.
“Pasar tetap tertutup dan jalan diblok karena kekerasan terjadi di antara partai-partai politik. Untuk menjadi dominan, malah ketenangan kota dihancurkan,” katanya. Kekerasan juga mengganggu karya rehabilitasi bagi para korban banjir tahun lalu, tambahnya.
Dalam sebuah pernyataan pada 16 Juni, Zohra Yusuf, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, menyalahkan pemerintah karena gagal memulihkan aturan dan ketertiban.
“Ini merupakan skandal, karena korban berjatuhan mestinya membangkitkan tanda bahaya dan amarah, namun kenyataannya tidak ada reaksi apa-apa. Kekerasan yang biasanya terjadi satu atau dua kali setahun di ibukora finansial tersebut kini sudah menjadi hal yang lumrah. Ini sangat mengejutkan bahwa para pelaku tetap tidak teridentifikasi dan dihukum,” kata pernyataan tersebut.
Sumber: Cathnews Indonesia / Ucanews