Monday, 4 July 2011

Monday, July 04, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca 68 Penyandang Sukerta Diruwat di Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela, Kumetran.
YOGYAKARTA - Sebanyak 68 anak yang lahir dalam kondisi khusus atau penyandang sukerta, diruwat secara Katolik di Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela, Kumetran, Yogyakarta, Selasa, (28/06/2011).

Bertindak sebagai juru ruwat adalah Ki Dalang Mas Lurah Cermo Sutejo, dan Pastor Paroki setempat Simon Atas Wahyudi Pr.

Mereka yang diruwat bukan saja anak-anak, namun juga orang dewasa. Mereka datang ke gereja dengan didampingi kedua orangtuanya, mengenakan busana Jawa. Sebelum diruwat, para sukerta dikirab keliling gereja. Selanjutnya, para sukerta melakukan sungkem di hadapan kedua orangtua yang menpendampingi. Kemudian dipergelarkan wayang kulit dengan lakon Purwakala. Pertunjukan wayang purwo di altar gereja itu dibawakan Ki Dalang Cermo.

Usai pentas wayang kulit selama hampir selama dua jam, dilanjutkan dengan upacara ruwatan yang dipimpin Pastor Simon Atas. Para sukerta diruwat dengan cara digunting rambutnya di bagian tengkuk, dilanjutkan dengan penyiraman air kendi di bagian kepala peserta.

Mereka yang dicirikan sebagai sukerta, di antaranya ontang-anting (anak tunggal), kedhana-kedhini (dua bersaudara lelaki dan perempuan), uger-uger lawang (dua anak lelaki semua), kembang sepasang (dua anak perempuan semua), sendang kaapit pancuran (anak perempuan diapit dua lelaki), dan lainnya.

Bagi masyarakat Jawa, diruwat berarti dibebaskan dari sukerta. Sukerta sendiri diartikan cela atau cacat yang melekat pada diri si anak sejak lahir (bukan cacat fisik). Para sukerta ini diyakini mudah mengalami kemalangan dan nasib sial. Maka, perlu diruwat agar terbebas dari segala hambatan dan kemalangan.

Pastor Simon Atas menjelaskan, ruwatan adalah tradisi Jawa. “Kalau tidak diruwat, bukan berarti tidak akan selamat, karena kita sudah dipermandikan,” akunya seraya berharap agar pada diri mereka yang diruwat tetap beriman, punya pengharapan, dan kasih.

Salah seorang peserta ruwatan yang dicirikan sebagai kedhana-kedhini, Roswita Mangiasih (24) mengaku lega setelah diruwat secara Katolik. “Saya ‘kan anak pertama, adik saya lelaki juga diruwat. Ini untuk nguri-uri budaya Jawa,” tutur Roswita, yang didampingi kedua orangtuanya.

Usai upacara ruwatan dilakukan doa di peziarahan Gua Sendang Jatiningsih, Sleman. Acara diakhiri dengan melarung potongan rambut dan ubarampe berupa kain mori putih yang dipakai kalung peserta ruwatan, ke Kali Progo.

Sumber : Cathnews Indonesia / ucanews