Friday 8 July 2011

Friday, July 08, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca World Harvest (WH), Pelayanan Asal Indonesia, Menjangkau 40 Negara.
JAKARTA - Tahun 80-an, sejumlah pemuda Indonesia yang studi dan bekerja di Amerika, aktif dalam sebuah persekutuan. Setelah selesai kuliah, mereka kembali ke Tanah Air.

Di Indonesia, 1989, Jimmy Oentoro, salah seorang dari pemuda tersebut di atas mendirikan Indonesian Harvest Outreach yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat. Ketika itu fokus mereka hanya di Indonesia. Namun demi memenuhi amanat agung Tuhan Yesus: “Pergilah ke seluruh dunia...”, beberapa tahun kemudian nama yayasan berubah menjadi World Harvest.

“Tuhan kan tidak menyuruh hanya ke Indonesia, tetapi ke seluruh dunia,” kata Pdt Edo Lantang, direktur Harvest Community Development. Lantang, yang juga salah seorang mahasiswa Indonesia di Amerika tersebut, menjelaskan World Harvest (WH) terdiri dari tiga pilar: komunitas (community); pendidikan dan pelayanan media. Sesuai visi dan misinya itu, WH mengadakan pelayanan di berbagai negara seperti Pakistan, Fiji, Jepang, Rusia, Afrika, dsb. Kini pelayanan WH sudah menjangkau 40 negara! Bahkan Jimmy Oentoro, pimpinan World Harvest sudah beberapa kali mengadakan KKR dan seminar di Pakistan yang dihadiri ratusan ribu orang!

Komunitas
Sebagaimana dikemukakan di atas, WH itu terdiri atas 3 pilar. Namun dalam kesempatan ini kita fokus pada salah satu pilar saja, yakni Komunitas yang dipimpin oleh Edo Lantang. Apa yang dimaksud dengan komunitas di sini? Yaitu komunitas-komunitas pra-sejahtera di kawasan kumuh, miskin. Tim World Harvest Community (WHC) masuk ke suatu komunitas, membuat kegiatan, program pengembangan komunitas dari pra-sejahtera menjadi sejahtera. Aktivitas ini paling banyak di wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi).

Dalam hal ini tim pimpinan Edo Lantang ini bekerja sama dengan pimpinan komunitas tsb. Sebagian dari mereka adalah hamba-hamba Tuhan yang berasal dari berbagai denominasi. “Dan pelayanan WH tidak dibatasi oleh suku, agama, ras. Bahkan komunitas yang dilayani juga kebanyakan bukan Kristen, semisal di Muara Baru, Tangerang, yang dihuni banyak orang dari Makassar, Madura, dsb” tutur pria kelahiran Jakarta 1963 itu.

Menurut Lantang, ada pun bentuk layanan mereka misalnya memberikan makanan sehat, mengadopsi anak-anak dari keluarga kurang mampu, membiayai sekolahnya, memberikan pengobatan gratis, pembagian sembako. “Kita tidak melakukannya secara sporadis, kita melakukannya secara komunitas, maka disebut pengembangan komunitas,” jelas Lantang yang selama 15 tahun menjadi pendeta di Bandung.

Jadi tim memilih komunitas-komunitas itu, bertemu orang-orang tertentu dan masuk di komunitas itu. Lazimnya WH melakukan survei dulu dan bekerja sama dengan orang lokal yang biasanya hamba Tuhan. Hebatnya, di antara pimpinan komunitas itu ada yang muslim juga, apalagi bila daerahnya tergolong muslim ketat.

Namun karena layanan World Harvest itu bersifat nasional, bukan agama, biasanya mereka diterima dengan tangan terbuka. “Bahkan di Aceh staf-nya muslim,” kata ayah 3 anak itu.

Dan hasilnya sejauh ini luar biasa, karena banyak komunitas yang tadinya kumuh menjadi komunitas yang diberkati. Dalam arti berubah menjadi lebih baik, tidak terlihat kumuh lagi, dsb. WH memberikan obat-obatan, melakukan pengasapan (fogging), bangun sarana mandi-cuci-kakus (MCK), dll. Dan akhirnya orang bisa melihat hasilnya.

Biasanya WH mengadakan pengobatan rutin hampir setiap minggu. Tapi bisa saja berubah karena banyak kegiatan yang tak terduga, seperti tiba-tiba fokus ke bencana. “Tapi, minimal 2-3 kali sebulan kita melayani komunitas-komunitas, memberi pengobatan,” tandas suami Uchee ini lantang. Ada pun pembagian bantuan sembako dilakukan minimal sebulan atau dua bulan sekali. WH juga fokus kepada anak-anak dengan memberikan makanan gratis terutama kepada anak-anak. Saat ini WH telah punya kurang-lebih 9.000 anak asuh.

Di samping itu, WH juga memberikan bantuan kredit sebagai modal kerja. Misalnya kalau kepala keluarga tidak punya pekerjaan, dikasih bantuan dalam bentuk materi, yang dinamakan mikrokredit atau kredit usaha kecil (KUK). Tetapi tidak asal kasih, calon penerimanya disurvei dulu. Penerimanya dibantu dan dibimbing, tidak dibiarkan begitu saja.

Dana yang sifatnya pinjaman itu digunakan untuk buka warung. Ada juga untuk tukang jamu. Menurut Lantang, jumlah uang yang dipinjamkan tidak besar, berkisar 1 atau beberapa juta. Dan itu melihat situasi juga. Ada yang tidak mampu mengembalikan. “Tetapi kalau tidak bisa dikembalikan itu dihibahkan saja, toh kita juga tidak membutuhkannya. Tetapi kita ajarkan mereka untuk bisa bertanggung jawab. Itu kan termasuk pendidikan,” tegas Lantang seraya mengimbuhkan bahwa ada yang macet tetapi peminjam tetap punya niat untuk melunasinya.

Selain mikrokredit, di HCD ada juga pelayanan “Fokus pada Keluarga” atau FPK.
Ada juga pelayanan anak asuh yang disebut “Program Siswa Peduli (Prosip), dan sekolah. HCD saat ini baru membuka beberapa taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD).

Biasanya, kehadiran WH dengan layanan komunitasnya diterima dengan baik di mana pun. Namun kadang ada saja kelompok tertentu yang entah dari mana datangnya menghasut komunitas dan menghambat aktivitas sosial itu. Bahkan salah seorang pimpinan komunitas pernah dipukul oleh kelompok penghasut itu. Tetapi sejauh ini kasus semacam ini bisa diatasi, sehingga aktivitas pelayanan terus berlanjut.

Sumber: Reformata