Monday 8 August 2011

Monday, August 08, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Kristen Sumba (GKS) Tolak Aktivitas Eksplorasi Tambang di Sumba. WAINGAPU (NTT) - Majelis Sinode (MS) Gereja Kristen Sumba (GKS) melalui Keputusan Sidang Sinode II, 21-24 Juni 2011, memutuskan menolak aktivitas eksplorasi pertambangan emas di Pulau Sumba yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem dan berdampak sosial yang luas

Demo Tolak Tambang di Pulau Sumba
Menurut GKS, Pulau Sumba berada dalam ancaman rusaknya lingkungan dan potensi konflik horisontal antara masyarakat bahkan dengan berbagai pihak terkait kepentingan pertambangan emas.

Orang Sumba tak bisa lepas dari Tanah, air dan batu. "Sebagian besar kami petani, dan kami membutuhkan tanah dan air sebagai syarat bertani," ujar Markus Toru, Ketua Majelis GKS Laloka setelah ibadah Peringatan kenaikan Tuhan Yesus, Juni lalu di Sumba Tengah. Wilayah mereka berdekatan dengan TN, Manupeuh Tana Daru.

Pada 4 Agustus 2011 lalu, masyarakat Sumba dari 6 desa berdemonstrasi di sekitar tambang emas di Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti. Keenam desa tersebut adalah Desa Praibakul, Wanggameti, Katiku Luku, Katiku Tana, Katiku Wai, dan Karipi.

Ada informasi bahwa PT Fathi Resourches (pemilik sahamnya adalah salah satu perusahaan Australia sebanyak 80%) yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan emas di Sumba oleh Gubernur NTT, telah melakukan eksplorasi di banyak tempat untuk memenuhi target luas wilayah eksplorasi sebanya 99.000 Ha.

Warga menyadari, Wanggameti sang pembagi Air dan Tana Daru - tanah labil harus diselamatkan dari tambang emas. Jika tidak, masa depan mereka terancam. Apalagi, menurut Organisasi PBB yang mengurusi Penggurunan, NTT merupakan salah satu dari tiga wilayah di Indonesia yang rentan penggurunan (UNCCD). Luas hutannya juga terus menyusut drastis, tinggal 10 persen, dan tiap tahun propinsi ini mengalami defisit air.

Ironis
Pulau Sumba yang luasnya hanya satu juta hektar, (10% nya telah diberikan kepada usaha pertambangan) memiliki savana luas. Dua kawasan paling tinggi, Laiwangi Wanggameti bersama Tana Daru, tak hanya menjadi hulu sungai dan sumber-sumber air pulau ini, tapi juga kaya keragaman hayati.

Setidaknya 114 satuan sungai berhulu di Wanggameti dan menopang kebutuhan air sekitar 200-an ribu warga Sumba Timur dan sekitarnya. Hulu daerah aliran sungai (DAS) Kambaniru, Luku, Lunga, Luku Kanabu Wai dan Melolo berada di Wanggameti. DAS itu memasok air irigasi dan air minum kota Waingapu, ibu kota sumba Timur. Juga kawasan sebelah utaranya yang lebih kering, serta kawasan selatan, salah satu pusat peternakan di Sumba. Ribuan Sapi, kerbau dan kuda meminum air dari berbagai anak sungai yang mengalir di tengah padang savana.Itu sebabnya Wanggameti berjuluk Paberi Wai la Ndeha Kahangga Wai Lapau, atau Sang Pembagi air.

Di Wanggameti ditemukan sedikitnya 182 jenis burung, 22 jenis mamalia, 115 jenis kupu-kupu, tujuh jenis amphibia, dan 29 jenis reptilia. Bahkan Kakatua Jambul Jingga, Rangkong Sumba, Burung Walet sarang putih dan Walik Rawamanu, serta sedikitnya 70 jenis tumbuhan hanya ditemukan di Sumba.

Pada sisi lain daya dukung lingkungan di Sumba sangat terbatas. Beberapa penelitian menemukan bahwa luas areal hutan yang tersisa hanya 4-6%. Ironisnya aktivitas pertambangan dilakukan di sekitar areal hutan dan kawasan yang produktif untuk kegiatan pertanian dan peternakan bagi masyarakat Sumba.

Dua puncak pegunungan tertinggi di Pulau Sumba berada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Manupeu Tana Daru kini terancam dibongkar oleh tambang emas. Ijin tambang itu sudah ada sejak 1997 atas nama Broken Hill Property (BHP) dari Australia. Setahun kemudian warga menolak kehadiran tambang emas itu. Kontrak Karya BHP diputus pemerintah pada 2008.

Diam-diam, setahun sebelum dicabut, Frans Lebu Raya memberi ijin Kuasa Pertambangan pada PT Fathi Resources, luasnya 346.500 hektar. Rencana tambang berada di tiga titik Tana Daru, Lamboya dan Masu. Namun, keluarnya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 menuntut penyesuaian menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas maksimal 100 ribu hektar. Kini, peta IUP menyisakan dua titik, proyek Masu dan Tana Daru, luasnya 99.970 hektar melintas dua Taman Nasional dan tiga kabupaten: Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kini 80 persen saham perusahaan dimiliki Hillgrove Resources, Australia.

Bupati Sumba Barat, Jubilate Pandango menolak rencana tambang emas ini. Ia mengaku akan disuap Rp 5,8 Miliar oleh perusahaan tambang yang tak mau ia sebutkan namanya. Dewan perwakilan Rakyat NTT pun merekomendasikan mencabut ijin tambang. Berbeda dengan sikap Bupati Sumba Tengah – Umbu S Pateduk, yang justru getol mendukung Tambang, setali Bupati Sumba Timur.

Eksplorasi dimulai kembali tahun lalu, perusahaan baru menyelesaikan pengeboran di sekitar desa Wanggameti. Markas mereka di sana dijaga Brimob. Kini titik eksplorasi bergeser ke desa Karipi. "Kami menolak, tapi kepala desa ngotot menginjinkan perusahaan masuk," ujar Markus Djangga Dewa, mantan Kepala Sekolah Dasar Karipi. Sejak 2010, beragam aksi dilakukan warga dan para aktivis menghentikan tambang emas ini. Mulai demo, dialog dengan pemerintah dan DPRD hingga pemblokiran kawasan tambang.

Di Karipi, ada 15 titik bor yang disiapkan perusahaan, tersebar di kaki hingga puncak bukit. Perusahaan membuka jalan yang lebarnya sekitar 1,2 meter. Makin banyak titik, makin banyak jalan dibuka, dan permukaan tanah yang dikupas. Pembukaan ini beresiko longsor, seperti yang terjadi pada pengeborannya di desa Wanggameti, yang tanah-tanahnya mudah longsor.(PGI/Majalah Forum/ KBR68H)

Berikut Adalah Keputusan Sinode GKS Terkait Penolakan Pertambangan Emas di Sumba








Sumber : PGI