Tuesday 9 August 2011

Tuesday, August 09, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Kota Masohi Gelar Sosialisasi Undang Undang Penghapusan KDRT.
MASOHI (MALUKU) - Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Kota Masohi, Klasis Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), mengelar sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Selasa malam (26/07/2011) yang dipusatkan di Gedung Gereja Mahanaim.

Tiga narasumber yang dihadirkan dalam sosialisasi ini, yaitu Ketua Advokasi Klasis Masohi, Edy Sarimanela, dari unsur kejaksaan, Viktor Mailoa, dari Pengadilan Negeri (PN) Masohi, Edwin Amahorseja sedangkan dari pihak kepolisian, Ipda Edi Samale.

UU tentang KDRT, menurut para narasumber ini, merupakan hukum publik yang di dalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya. Yang termasuk dalam KDRT dalam lingkup keluarga yaitu, suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti, mertua, menantu, ipar, dan besan serta orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti pembantu rumah tangga.

KDRT dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk, kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya

Selain itu, kekerasan seksual berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu, penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya.

Pada umumnya, UU Nomor 23 Tahun 2004 ini bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tetapi juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut.

Menurut Victor Mailoa, selain UU KDRT ada juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini secara langsung memberikan perlindungan terhadap anak, sehingga tidak terjadi kekerasan yang dilakukan terhadap anak.

Pada kedua Undang-Undang ini, lanjut Mailoa, selain korban yang bisa melaporkan kejadian terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, tetapi masyarakat yang melihat terjadinya peristiwa kekerasan tersebut memiliki peran untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum disertai dengan bukti-bukti yang ada.

Narasumber lainnya, Ipda Edi Samale mengatakan, jika ada delik aduan tentang KDRT, maka otomatis pihak kepolisian akan menindaklanjuti untuk diproses hukum. Tetapi juga bisa diselesaikan secara damai oleh korban dan pelaku.

Sedangkan Hakim Edwin Amahorseja dalam penjelasannya mengatakan, UU KDRT tidak mengatur tentang spesifik hukuman, tetapi hanya memberikan pencegahan terjadinya KDRT tersebut, di mana hakim dalam proses persidangan tidak memberikan sanksi hukuman pidana tetapi hanya memberikan sanksi bagi pelaku KDRT.

Para narasumber ini berharap, masyarakat yang melihat terjadinya kasus KDRT maupun korban tindakan tersebut haruslah melaporkan kepada aparat penegak hukum.(Siwalima)