Tuesday 2 August 2011

Tuesday, August 02, 2011
1
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Tak Bisa Gegabah Eksekusi Lahan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Jatibaru.
JAKARTA - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tidak bisa gegabah dan harus bisa menahan diri dalam melakukan eksekusi pengosongan lahan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) yang berada di Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Perintah eksekusi lahan gereja itu sendiri akan dilaksanakan pada Sabtu (6/8) mendatang dan tertuang dalam putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 27 Juni 1956 No 377/1955 PT Perdata dan Putusan Mahkamah Agung-RI tanggal 31 Januari 1957 No 216/K/SIP/1956.

“Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebaiknya jangan gegabah dalam melakukan eksekusi pengosongan rumah ibadah GBIS. Semua harus diselesaikan dengan baik karena masalah rumah ibadah menyangkut kepentingan orang banyak,” kata Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), Theophilus Bela, Selasa (02/08/2011).

Gereja Bethel Injil Sepenuh Jatibaru, sebagai badan hukum gereja yang telah memperoleh izin dari Departemen Agama Kantor Wilayah Departemen Agama Daerah Khusus Ibukota Jakarta No WJ/7/BA.01.1/4698/1997 tertanggal 12 September 1997, telah menempati dan menggunakan tanah dan bangunan sejak tahun 1961.

Namun, PN Jakarta Pusat melalui Surat Perkara Nomor 020/2011.Eks, tertanggal 14 Juli 2011 meminta jemaat mengosongkan lahan gereja paling lambat pada Sabtu (06/08/2011). Sebelum perintah pengosongan dilakukan, PN Jakarta Pusat memanggil pihak gereja sebagai pihak yang menempati/menghuni tanah dan rumah/bangunan di Jalan Jati Baru X No 50A untuk menghadap Ketua PN Jakarta Pusat.

Pada Selasa (26/07/2011), pihak gereja sudah menghadap Ketua PN dan mendapatkan penjelasan bahwa gereja sebagai pihak yang menempati tanah yang dimaksud akan dieksekusi sesuai dengan Putusan PN Jakarta Pusat tanggal 11 Februari 1953 Nomor: 816/1950.G Jo, yang dianggap telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam keputusannya, GBIS Jatibaru sebagai pihak yang telah lebih dari 50 tahun harus menerima keputusan eksekusi tersebut dan dalam waktu delapan hari harus segera menyerahkan gereja kepada pihak pemohon eksekusi, Ir Lukman A sebagai ahli waris Muchsin Alatas. GBIS sejak 1961 secara terus menerus telah memanfaatkan lahan tersebut sebagai rumah ibadah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diakui sah, status tanah yang saat ini menjadi tempat gereja berdiri adalah sebagian tanah negara bekas Eigendom 8669.

Hal tersebut berdasarkan surat dari Badan Pertanahan Nasional No. 2114/31.71-200/X/2010 tertanggal 29 Oktober 2010. “Perintah eksekusi GBIS hanya menambah panjang daftar rumah ibadah yang ditutup paksa. Sepanjang 2011, menurut catatan kami, sudah ada 25 gereja yang mendapatkan perlakuan serupa,” ucap Theophilus.

Ketua Indonesian Conference On Religion and Peace, Johannes Hariyanto menilai, masalah eksekusi GBIS Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, lebih mengarah kepada masalah kepentingan bisnis, bukan masalah agama. Dari berbagai kasus penutupan gereja yang marak terjadi di sejumlah tempat, tidak hanya berlatar belakang agama, namun juga lebih ke arah masalah bisnis.

“Dalam kasus eksekusi GBIS, saya lebih melihat ada kepentingan bisnis yang diklaim ahli waris. Tidak semua kasus penutupan gereja mutlak masalah agama,” kata Johannes.(Suara pembaruan)