Thursday 11 August 2011

Thursday, August 11, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Setara Institute Nilai Pembangunan Rumah Ibadah Saling Jegal antar Pihak. JAKARTA - SETARA Institute melihat untuk membangun rumah ibadah di Indonesia sering terjadi saling jegal antarpihak berkepentingan.

Pembangunan Masjid Nur Musofir di Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mendapat penolakan dari warga sekitar dengan dasar bahwa persetujuan warga sekitar telah dipalsukan pihak masjid. Karenanya, pembangunan harus dihentikan.

Sementara Walikota Kupang secara prinsip bersikeras mendukung pembangunan masjid dan terus berupaya mencari jalan keluar dengan dialog yang sehat dan produktif.

"Situasi yang saat ini terjadi di Kupang dan menimpa umat Islam adalah situasi yang sama dan alami jemaat Kristiani baik di GKI Taman Yasmin maupun di Ciketing Bekasi, dan tempat lainnya," kata Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam rilisnya kepada Tribunnews.com, Rabu (10/08/2011).

Menurutnya, secara faktual pembatasan kebebasan beragama dan pengaturan pendirian rumah ibadah yang diskriminatif dipastikan tidak akan menyelesaikan masalah.

Aturan diskriminatif selalu mengandung potensi diskriminasi baru terhadap kelompok lainnya, termasuk tuduhan bahwa dukungan pembangunan Masjid di Kupang adalah palsu.

Menurutnya, tuduhan semacam ini juga dialami oleh jemaat GKI Taman Yasmin juga HKBP Cikeuting.

Perbedaan kedua peristiwa di Kupang dan di Jawa Barat itu adalah cara pimpinan daerah menyikapi penolakan masyarakat.

"Jika di Bogor dan di Bekasi pimpinan daerah menjadi aktor utama diskriminasi; sementara di Kupang, sejauh ini Walikota masih menunjukkan sikap akomodatif dan terus berusaha mencari jalan keluar," jelasnya.

SETARA Institute menangkap bahwa pesan publik dari dua peristiwa tersebut, bahwa intoleransi pada dasarnya bisa muncul dari kelompok manapun dan di wilayah manapun. "Bahwa barikade sosial antar umat beragama terus mengalami penebalan yang semakin menjauhkan jarak antar umat," imbuhnya.

Bagi SETARA Institute, kunci utama penyelesaian di sini adalah peran pemerintah daerah yang netral dan berpijak pada jaminan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat
Jumlah pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia dari hasil penelitian SETARA Institute selama kurun Januari– Juni 2011 mencapai 99 kasus.

Angka ini dinilai lebih tinggi dibandingkan temuan selama 2010 lalu yang hanya 94 kasus, tapi masih lebih rendah dari 2009 yang mencapai 114 kasus. Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos kemarin mengungkapkan, dari 99 kasus temuan tersebut,paling besar terjadi pada Februari, yakni 30 kasus, serta Maret dan April yang sama-sama 24 kasus.

Sisanya 14 kasus pada Januari, 2 kasus pada Mei,dan 5 kasus pada Juni. Untuk persebaran peristiwa, Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi dengan 30 kasus disusul Lampung 15 kasus dan Aceh 14 kasus.Jawa Tengah juga masih cukup tinggi dengan 12 kasus, sedangkan Jawa Timur 8 kasus dan Yogyakarta hanya 3 kasus.

Dari 99 temuan peristiwa, negara telah mengambil tindakan sebanyak 80 kali,sedangkan non-negara 60 kali. Tindakan oleh negara seperti pelarangan aliran keagamaan (14 kali), penyesatan aliran keagamaan (14 kali), pembiaran (12 kali), intimidasi (9), maupun penerbitan kebijakan diskriminatif (8).

Para pelakunya antara lain polisi (16),gubernur (18),majelis permusyawaratan ulama (14),dan bupati/wali kota (13). Adapun tindakan dari non negara sebagian besar berupa penyesatan (19 kali), intoleransi (8), dan perusakan tempat ibadah (7). Aktor untuk non-negara di antaranya MUI (19), masyarakat (19), dan Front Pembela Islam (7).

Sementara yang menjadi korban mayoritas adalah kelompok Ahmadiyah (42) dan aliran keagamaan (36).Jemaat kristiani berada di peringkat berikut dengan 11 kasus,sedangkan Syiah 3 kasus dan umat Buddha 1 kasus.” Penyerangan dan pembantaian anggota jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Banten merupakan kekerasan paling keji yang menimpa jamaah Ahmadiyah dalam lima tahun terakhir,”katanya di Jakarta kemarin.

Kepala Badan Pelaksana SETARA Institutee Hendardi menilai, selama ini belum terjadi proses pengadilan yang adil bagi para korban. Sebab, peradilan acap kali gagal memberikan keadilan karena mendapat tekanan dari masyarakat. ”Butuh tindakan politik untuk mengamankan peradilan dari tekanan,”ujarnya. (Seputar Indonesia/ Tribunews)