Thursday 18 August 2011

Thursday, August 18, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Tokoh Kristen, Aktifis HAM dan Kalangan Pers Nilai Media Massa Abaikan Isu Keberagaman dan Sering Selewengkan Fakta.

JAKARTA - Tokoh agama, aktivis HAM dan kalangan pers kemarin (17/08/2011) bertemu membahas tentang peran media dalam isu keberagaman. Intinya mereka menilai, media belum bisa memainkan peran dengan lebih baik dalam memberitakan isu-isu keberagaman di negara ini. Kenapa bisa muncul penilaian semacam itu?

Media massa di tanah air, selama ini nyaris tidak pernah melewatkan peristiwa konflik agama, ras, suku, sampai konflik yang hanya sebatas pertikaian kelompok di dalam masyarakat. Tapi itu tak cukup untuk menyimpulkan bahwa media massa sudah menjalankan fungsinya dengan lebih baik.

Sekretaris Hubungan Antara Agama dan Kepercayaan di Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI). Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Soesetyo menilai media massa belum dapat memerankan fungsinya secara mendalam. Media massa baru sekedar mewartakan peristiwa-peristiwa konflik tadi secara parsial, sehingga belum dapat menerangkan sebuah kejadian secara utuh kepada masyarakat.

“Harusnya media massa itu merawat keanekaragaman sebagai kekuatan bangsa ini. Untuk merawat keberagaman, kebhinekaan itu yang menjadi pilar untuk berbangsa, maka media massa harus memungsikan fungsi silang, fungsi kritis dan kontrol terhadap penguasa. Kurangnya media adalah isu-isu keanekaragaman ini masih disajikan secara parsial, tidak menjadi alat penekan kebijakan publik untuk mengubah paradigma kekuasan ini, agar kekuasan ini tidak takut.”

Senada dengan Romo Benny Soesetyo, Juru Bicara GKI Yasmin Bona Sigalingging menganggap sebagian media telah melakukan penyelewengan fakta. Misalnya soal pemberitaan GKI Yasmin saat Natal tahun lalu yang tidak sesuai dengan konteks peristiwa.

“Ada satu koran Indonesia yang mungkin paling besar sekarang ini yang tidak pernah memuat berita GKI Yasmin. Coba teman-teman liat. Ada dua pemberitaan, satu pas natal 25 Desember 2010 itu beritanya tentang natal, fotonya, foto kami ketika ibadah di trotoar, malam-malam dengan dikawal polisi. Bukan di kawal si, polisinya pada saat itu masih menjadi bagian dari Diany Budiarto yang menakut-nakuti kami. Jadi fotonya itu adalah jemaah yang lagi beribadah dalam suasana mencekam, tetapi keterangan fotonya ‘Natal di Indonesia Berlangsung Dengan Damai’”

Sementara itu, aktivis HAM menilai, persoalan peran media dalam isu keberagaman tak cuma menyangkut profesionalisme si jurnalis atau media tempat bekerja. Wakil Ketua LSM Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai, kinerja sebagian media belum lepas betul dari persoalan tarik menarik antara kepentingan pemodal dan masyarakat. Meski begitu, Bonar berpendapat, masyarakat bisa mendapatkan informasi secara objektif dan mendalam asalkan si jurnalis bisa mensiasati keadaan dengan tetap mengedepankan informasi yang menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

“Tetapi memang tarik-menarik antara tradisi kritis, tradisi pergerakan dengan modal dan kuasa ini mewarnai sampai sekarang. Kami menyadari betul, kami harus pintar-pintar juga menyiasati bagaimana supaya isu yang lebih muncul, lebih di kedepankan.”

Salah seorang anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia) dari Divisi Advokasi, Eko Maryadi menyarankan sebuah solusi. Menurutnya, jurnalis tetap dapat membuat karya jurnalistik yang komprehensif dan tidak hanya berupa berita lempang yang merupakan berita permukaan. Caranya, perusahaan media mesti menyediakan sebuah lembaga pendidikan jurnalistik yang mengajarkan cara membuat berita mendalam. Selain itu, Media sebaiknya juga punya lembaga pengawasan di atas pemimpin redaksi, seperti ombudsman.

“Jadi media tempat kita bekerja itu harus menyediakan, pertama satu lembaga pendidikan, ke dua lembaga pengawasan. Jadi ombudsmand-ambudsman media itu harusnya menjadi fungsi kontrol internal pers, tetapi kan tidak semua perusahaan pers punya ombudsman. Ombudsman ini yang sebetulnya menjadi pengawas langsung para jurnalis, karya jurnalis dan kinerja pemred.” (kbr68h)