Wednesday, 14 September 2011

Wednesday, September 14, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca 600 Pemuka Agama dari Kristen, Islam, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu Berdoa dan Berpuasa Bersama Untuk Indonesia.
JAKARTA - Sekitar 600 pemuka agama dari berbagai daerah melakukan doa bersama untuk Indonesia. Aksi ini sebagai bentuk keprihatinan atas berbagai kasus korupsi, kebohongan dan penghindaran tanggungjawab oleh elite politik selama ini.

Para analis dan aktivis menilai, saat ini Indonesia sudah menjadi negara mafia. Para politisi dan pejabatnya mereproduksi dan menduplikasi korupsi. Salah satu sebabnya karena para pemimpin sibuk dengan politik pencitran. Padahal, pencitraan adalah perbuatan tercela yang bertentangan dengan agama.

“Maka, boleh dikatakan ini sebagai doa nasional. Diikuti beberapa agama yakni Kristen, Islam, Budha, Hindu dan Kong Hu Cu. Masing-masing 100 tokoh agama," kata salah satu penggagas aksi doa tersebut, Ir Abdulrachim, mantan aktivis ITB 1977/78. Semua ini didorong keprihatinan karena dalam setahun terakhir Indonesia dipenuhi banyak kasus, tetapi selalu ditutupi dengan kasus yang lain.

Sampai sekarang belum ada satupun kasus yang selesai. Kasus Century ditutup mafia pajak, dan mafia pajak ditutup kasus Nazarudin , kemudian kasus Nazaruddin seperti ditutup oleh kasus Muhaimin Kemenakertrans, dan kemudian ditutup lagi dengan kerusuhan Ambon. “Bahkan Gayus hanya diusut kasus yang kecil saja. Tidak ada yang selesai," imbuh Abdulrachim.

Mulai Rabu (14/09/2011) sampai Jumat (16/09/2011) besok, para tokoh agama bersama sekitar 600 orang warga pemeluk agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu, duduk bersama secara serempak, dan memanjatkan doa seraya berpuasa untuk keselamatan dan kemaslahatan bangsa.

Aksi Doa dan Puasa Bersama ini mendapat respons positif dari tokoh-tokoh agama dan tokoh nasional yang menghendaki adanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat.

Doa dan Puasa Bersama ini merupakan jawaban para tokoh agama dalam menghadapi krisis multidimensional yang melanda Indonesia belakangan ini. Mereka berharap, Ibu Pertiwi yang sedang merana karena didera krisis etika dan moralitas yang amat parah bisa segera disingkirkan dari negeri ini, sehingga wajah Ibu Pertiwi tidak lagi bermuram durja, tapi menjadi ceria dan cerah, bebas dari korupsi, pelanggaran HAM dan kezaliman.

Mereka yang hadir dalam aksi ini antara lain Romo Mudji Sutrisno mewakili Katolik, mewakili Kristen Protestan Pdt. Alma Shepard Supit, Tokoh Kong Hu Cu Suma Wiharja, Tokoh Hindu dari Bali Gus Indra, pimpinan Vihara Dewi Kwan Im, Papua, Biksu Dwi Wrya, serta Ketua Wanita Hindu Ni Made Setiasih. Mereka datang dari sejumlah wilayah di Indonesia.

Tokoh Katolik, Romo Mudji Sutrisno menekankan agar doa dan puasa dilakukan semua pihak secara sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Menurut Romo Mudji, doa dan puasa ada dalam setiap agama dan memiliki makna yang sakral.

Sedangkan mewakili Kristen Protestan, Pdt Alma Shepard Supit dari Gereja Bethel Indonesia (GBI), menggambarkan dahsyatnya kekuatan religiusitas doa dan terutama puasa. Kekuatan religiusitas ini mampu mewujudkan perubahan, sebagaimana terjadi berabad-abad lalu yang dipelopori oleh Esther.

“Ketika semua upaya tidak mampu melakukan perubahan, bahkan Esther bersama kaumnya terancam dibasmi oleh Haman, Esther lalu mengajak kepada kaumnya untuk berpuasa. Akhirnya, musuh yang tadinya berniat membunuhnya bertekuk lutut begitu saja di depan Esther,” kata Supit.

KH Damanhuri, tokoh Islam dari pesantren di Depok, mengungkapkan bahwa Indonesia kini sedang sakit sehingga meriang. Salah satu cara yang ampuh untuk menghadapi problem akut yang dihadapi negara kita adalah dengan doa dan puasa.

“Doa dan Puasa Bersama diharapkan bisa menyembuhkan penyakit yang mendera bangsa kita, bisa membersihkan negara kita dari korupsi dan berbagai penyakit yang membelitnya,” kata KH Damanhuri.

Sementara itu, tokoh agama Hindu dari Lampung, Ni Made Setiasih, menyatakan antusiasmenya menyambut Doa dan Puasa Bersama itu. “Kami datang dari Lampung dengan rombongan 100 orang. Kami betul-betul ingin merasakan perubahan sesegera mungkin,”ujarnya.

Aksi doa ini juga didukung mantan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa ITB seperti Ir S. Indro Tjahjono, mantan menko Perekonomian Rizal Ramli dan aktivis antikorupsi M Fadjroel Rachman . Dukungan juga datang dari kalangan pengajar dan peneliti Universitas Paramadina, diwakili Dr Herdi Sahrasad dan Khalid Zabidi MA.

“Gerakan tanpa kekerasan atau nonviolence dengan doa dan puasa bersama ini sangat efektif untuk melakukan perubahan yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Ada banyak contoh bagaimana gerakan tanpa kekerasan berhasil mencapai tujuan yang semula dianggap mustahil,” kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli menyebutkan, kekuatan gerakan nonviolence sudah dilakukan Gandhi untuk memperjuangkan kemerdekaan India dan Martin Luther King untuk menghapus diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika. “Dengan Doa dan Puasa Bersama yang akan dilakukan umat lintas agama, kami berharap mendapat petunjuk Allah SWT untuk melakukan perubahan secara damai,” kata Rizal Ramli.

Dalam hal ini, Mantan anggota DPR PDI Perjuangan Zulfan Lindan menyatakan, agama Islam memerintahkan agar manusia beribadah dengan ikhlas. Lawan dari ikhlas adalah pamrih, ujub, dan riya. Di Indonesia, para pejabatnya bahkan melampaui larangan berlaku riya. Karena mereka sejatinya banyak melakukan dosa dan kebusukan, namun terus berupaya ekstra keras mencitrakan diri seolah-olah sebagai pejabat yang bersih dan berkarya bagi bangsa dan negara. Contoh perbuatan buruk itu misalnya, korupsi tapi membangun masjid, gereja dan lainnya.

“Ketiga sifat lawan ikhlas itu muncul karena dorongan buruk. Sebetulnya kita punya benteng, yaitu agama dan hati nurani. Tapi karena para pejabat sudah punya sifat buruk, maka mereka berupaya menutupi semua kebusukan itu dengan pencitraan,” ungkap Zulfan. (Inilah/Tribunnews/Tim PPGI)