Thursday, 29 September 2011

Thursday, September 29, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Jawaban dan Kunci dari cap 'Gereja Liar'.
JAKARTA - Sepertinya penutupan gereja di negara kita sudah merupakan hal yang lumrah. yang basi. Lihat saja angka penutupan gereja dari tahun ke tahun tetap ada. Menurut data Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), di tahun 2010 ada 47 gereja yang ditutup, sedangkan di tahun 2011 ada 9 gereja yang ditutup hingga April di tahun ini.

Saat menelusuri kasus penutupan GPdI Rancaekek, Jatinangor, di kantor kecamatan Jatinangor, kami membaca tulisan: “Usut Gereja Liar”. Entah apa maksudnya. Mengapa hanya gereja? Mengapa tidak ada tempat ibadah lain? Apakah ini membuktikan bahwa tempat ibadah yang dianggap liar, itu hanya gereja? Bahkan mungkin gereja yang berdiri, paling banyak mengalami cacat hukum, sehingga harus ditutup?

Ketika Kepala Desa, Arip, ditanya tentang hal ini, dia hanya berkata, “Saya cape mengurusi hal ini. Langsung saja ke kantor Kecamatan,” dengan nada tinggi dan penuh curiga menanggapi kedatangan Reformata.

Walau terkesan dipaksakan, Arip dapat diajak berbicara untuk menyampaikan peristiwa sebenarnya, dari penutupan GPdI Rancaekek-Jatinangor. “Itu ditutup karena rumah tinggal dijadikan tempat ibadah dan tidak ada ijin. Warga sekitar resah dengan kehadiran mereka. Jemaat yang datang bukan dari daerah sekitar, namun dari Bandung dan tempat yang jauh,” ungkap Arip kesal.

Apa solusi yang ditawarkan Arip untuk GPDI Rancaekek-Jatinangor? “Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau warga sudah menolak,” jawab Arip santai. Kades saja sudah angkat tangan, bagaimana lagi rakyat yang dipimpinnya? Mengapa sebagai Kades, Arip terkesan begitu lemah dengan keputusan warga yang dipimpinnya? Bukankah seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi yang dipimpinnya? Namun lagi-lagi gereja harus belajar menemukan jawaban dan bertindak tepat.

Jumlah jemaat sering menjadi sorotan yang selalu menarik perhatian, apalagi jika aktivitas yang dilakukan rutin. Arip dan warga sekitar melihat hal ini sangat mengganggu. “Bagaikan orang asing yang datang membangun kerajaan, di daerah kekuasaan mereka.”

Gereja liar, menurut meraka, adalah gereja yang tidak mempunyai IMB. Gereja harus berdiri di atas dukungan minimal 60 warga yang disahkan oleh Lurah atau Kepala Desa. Bagaimana itu bisa didapatkan, jika warga tidak mencapai angka tersebut, ataupun Lurah/Kades-nya menghambat?

Persoalan yang juga disampaikan dari pihak Kades, Camat, Koramil, dan Polsek setempat adalah supaya umat nasrani yang mau beribadah silahkan menggunakan gedung yang ada di kompleks STPDN. Kesannya memang tidak perlu menambah gereja. Ketika GPDI Rancaekek-Jatinangor mau memakai tempat tersebut malah dinyatakan penuh/tidak dapat digunakan. Ternyata kesempatan untuk memiliki gedung gereja dan beribadah, menjadi persoalan riskan bagi masyarakat Kristen di Rancaekek dan sekitarnya.

Siap menghadapi hambatan
Peristiwa penutupan GPDI Rancaekek-Jatinangor menyisakan rasa takut yang tidak dapat diabaikan, ketika melihat masa beringas serta tekanan yang mengancam. Apakah mereka kurang beriman? Pasti bukan itu jawabannya. Persoalan lapangan selalu lebih jelas dan keras, maka kesiapan untuk menghadapi harus terus diperlengkapi.

Pertemuan dengan GPDI Rancaekek-Jatinangor, GPDI Rancaekek Perum Bumi Kencana Rancaekek, GPPS (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya) Batupenjuru Sumedang, dan GBIS (Gereja Betel Injil Sepenuh) Jalan Bojong Pulus menuangkan banyak pertanyaan. Bagaimana menghadapi massa yang mencoba bertindak antipati?.

Bagaimana menyampaikan kejadian sesungguhnya kepada media dan dunia? Bagaimana hukum sesungguhnya berbicara, ketika menangani persoalan penutupan gereja? Apa yang harus dilakukan gereja, dalam kaitan dengan masyarakat sekitar yang non Kristen?

Gereja terkesan bingung dan tidak berdaya, ketika gereja tidak siap menghadapi berbagai hambatan. Gereja yang kuat adalah gereja yang siap menghadapi setiap persoalan dengan mengandalkan Tuhan, namun bertanggung jawab melengkapi diri dari berbagai aspek sebagai masyarakat sosial yang benar.

Gereja ternyata harus diperlengkapi dengan beberapa hal dibawah ini.
Pertama, diperlengkapi tentang pengetahuan isi Peraturan Bersama 5 Menteri. Hal ini membuat gereja siap menanggapi gugatan hukum di lapangan.

Kedua, mengetahui cara menuliskan pres release dan pres konfrens yang dapat disampaikan kepada media maupun warga yang membutuhkan informasi. Gereja harus bersahabat dengan media, bukan musuh. Dengan demikian pemberitaan dapat cepat tersebar dan menciptakan komunikasi massa yang efektif.

Ketiga, membangun dialog antar umat beragama dengan sedikitnya mengetahui pemahaman agama lain. Dialog, menjadikan suasana lebih cair. Dapat memperlengkapi wawasan dan memberi pengertian. Menjadi sahabat untuk membangun pemahaman yang lebih baik.

Keempat, mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dalam kegiatan-kegiatan positif serta membangun hubungan yang baik dengan pihak pemerintah setempat. Banyak masyarakat yang membutuhkan kepedulian kita, maka gereja harus beraksi dan bertindak nyata.

Jika IMB tidak mudah didapatkan, tidak berarti orang Kristen sulit beribadah. Di mana saja umat Kristen dapat beribadah. Anehnya jika untuk beribadah harus diatur, dibatasi, dan sulit. Maka betapa anehnya hidup di bangsa ini.

Gereja akan tetap berupaya untuk menaati hukum, dan melengkapi setiap administrasi yang harus dibereskan. Namun jika ada hambatan di lapangan, itu tidak harus membuat gereja mundur dan putus asah. Sebaliknya gereja akan semakin teguh berdiri dan bersinar menjadi saksi Tuhan. Menjadi berkat untuk masyarakat dan bangsa tercinta. (Reformata)