Thursday 29 September 2011

Thursday, September 29, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca "Pemaksaan" Eksekusi Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Jatibaru.
JAKARTA - Untuk menuju lokasi Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, harus melewati jalan yang sempit dan ramai oleh lalu-lalang orang yang keluar-masuk pasar. Di pagi hingga sore hari, di hari biasa pintu gereja ditutupi oleh para pedagang serta pagar seadanya yang terbuat dari kayu.

Gereja yang telah berdiri sejak 1944 ini, terlihat sederhana namun peduli dengan warga jemaatnya yang berkekurangan. Tidak sedikit dari jemaatnya yang dibantu biaya kuliah, maupun kehidupan lainnya. Banyak yang tinggal berjauhan, namun keterikatan yang dibangun akrab membuat mereka tetap setia untuk bertumbuh dan melayani bersama, sebagaimana Abraham G. Pattikawa tetap peduli dan melayani karena warisan pelayanan yang telah membentuknya melakukan yang terbaik sebagai warga jemaat GBIS Jatibaru.

Di tahun 1961, GBIS Jatibaru menempati gedung Jatibaru Gang 10/50 A. Pemberian dari salah satu jemaat, Tjo Wie Ho (alm) kepada Gembala Sidang GBIS Jatibaru, yang saat itu Pdt Wong Miauw Fa (alm). Saat ini GBIS digembalakan oleh Pdt Jahja Wahjudi Sheno bersama Febe Wahjudi ., putra-putri dari Pdt Wong Miauw Fa (alm).

Setelah 50 tahun GBIS berada di sana dengan aman dan damai, tiba-tiba seseorang bernama Ir. Lukman Alatas yang mengaku sebagai ahli waris dari tanah di mana GBIS berdiri. Dalam surat tertulis tanggal 25 Juni 2010, GBIS Jatibaru menyatakan itikad baiknya kepada pihak Ir. Lukman Alatas untuk membawa seluruh berkas asli bukti kepemilikannya kepada notaris yang telah ditunjuk gereja untuk proses verifikasi, yakni: HERIATI ZURAIDA SH, Notaris & PPAT, namun sampai saat ini tidak ada satu pun bukti kepemilikan yang diserahkan untuk diproses lebih lanjut.

Pada akhirnya untuk memperjelas status GBIS berada saat ini, maka pihak BPN telah melakukan pengukuran dan penelitian data sehingga dinyatakan bahwa tempat gereja di mana GBIS Jatibaru berdiri adalah sebagian tanah negara bekas Eigendom 8669 berdasarkan surat dari Badan Pertanahan Nasional No. 2114/31.71-200/X/2010 tertanggal 29 Oktober 2010.

Surat Panggilan Teguran
Jumat, 15 Juli 2011, pihak GBIS menerima surat panggilan teguran/peringatan (aanmaning) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Perkara Nomor: 020/2011.Eks) tertanggal 14 Juli 2011, untuk datang menghadap Ketua Pengadian Negeri Jakarta Pusat. Pada Selasa 26 Juli 2011, saat pihak gereja datang menghadap, Ketua Sidang menjelaskan bahwa GBIS sebagai pihak yang menempati tanah yang dimaksud akan dieksekusi sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta pusat.

Selanjutnya usaha dari pihak-pihak yang ingin melakukan proses eksekusi GBIS Jatibaru sampai dengan saat ini masih belum berakhir. Setelah mencoba menggunakan jalur “hukum” dengan mengartikan bahwa amar putusan Pengadilan Negeri Djakarta tanggal 11 Februari 1953 Nomor : 816/1950.G. yang berbunyi:

1. Pengesahan surat perjanjian notariil tertanggal 2 April 1949 No 15 yang dibuat di hadapan Notaris Mr. N.A.M. Van Altena di Djakarta dan

2. penghukuman kepada pihak Tjo Wie Ho dan Tjo Thin Khioen untuk membayar tunggakan uang sewa mulai bulan November 1949 sampai Desember 1950 a. Rp.150 sebelum atau djumlah Rp.2.100,- (dua ribu seratus rupiah).

Sebagai suatu dasar untuk pengosongan (walaupun tidak ada sama sekali keputusan yang terkait dengan pengosongan gereja), saat ini pihak yang menginginkan gereja dikosongkan (Lukman Alatas) masih terus melakukan berbagai upaya untuk dapat merealisasikan tujuan mereka yaitu pengosongan gereja.

Solusi
Menurut David M.L. Tobing, S.H., M.Kn. yang dipercayakan oleh PGI untuk mendampingi GBIS Jatibaru: “GBIS seolah-olah “dipaksa” oleh Pengadilan untuk mengosongkan tanah atas pemintaan pemohon eksekusi (yang mengaku sebagai pemilik tanah) dan pemenang dari perkara yang telah diputus Mahkamah Agung tahun 1957;

“Setelah kami diberikan fotocopi berkas lalu kami melakukan pengecekan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan memang ternyata Pihak GBIS pernah dipanggil untuk menghadap Ketua Pengadilan dalam rangka pelaksanaan putusan Mahkamah Agung; namun ternyata putusan tersebut tidak menyangkut status kepemilikan tanah melainkan masalah uang sewa rumah antara pihak yg mengaku sebagai pemilik rumah dengan pihak yg menyewa rumah di mana pihak yang menyewa rumah ini pada tahun 1961 melalui surat pernyataan tanggal 20 September 1961 telah memberikan rumah kepada GBIS”.

Davis melanjutkan, pihaknya telah melihat sendiri berkas perkara tersebut di pengadilan di mana permintaan pihak pemohon eksekusi untuk mengosongkan rumah tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung sehingga kasus tersabut murni masalah pembayaran uang sewa menyewa.

Sampai saat ini rumah dan tanah tersebut walaupun sudah dikuasai dan ditempati 50 tahun lebih oleh GBIS namun masih perlu untuk diurus surat-suratnya; namun jika dilihat dari dokumen-dokumen yang ada, ada upaya dari pihak tertentu untuk selalu mengganggu keberadaan GBIS.

“Solusi ke depan untuk GBIS dan juga gereja-gereja lain adalah agar masalah pendaftaran tanah tidak dianggap masalah administratif tapi harus dianggap sebagai masalah hukum agar tidak ada pihak-pihak yg berusaha mengganggu dengan cara menggunakan lembaga peradilan bahkan upaya lain diluar pengadilan,” ungkap David. (Reformata)