Illustrasi |
Bagaimana mungkin secara spontan mereka memasuki gereja dan menuntut agar gereja segera ditutup? Kehadiran mereka-pun diberitahukan polisi kepada pihak gereja 15 menit sebelum reaksi. Polisi mengawal mereka masuk lokasi gereja.
Keanehan lainnya, telah beredar pula surat penolakan atas GPdI Jatinangor-Rancaekek oleh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat desa Mekargalih. Tercatat 48 RT desa Mekargalih yang menolak keberadaan GPdI Jatinangor-Rancaekek tertanggal 17/07/11, seminggu sebelum aksi penutupan terjadi. Bukan hal kebetulan, pastinya.
Sejak berdirinya GPdI Jatinangor-Rancaekek di tahun 1987, hubungan dengan masyarakat tidak ada masalah yang berarti. Komentar 2 warga yang ditemui REFORMATA, “kami baik-baik saja. Setiap orang berhak untuk beribadah.”
Ketika memantau lokasi gereja secara langsung, posisi gedung gereja seharusnya tidak mengganggu masyarakat sekitar. Karena yang ada disamping kiri-kanan gereja adalah tempat usaha, bukan rumah tinggal warga. Kalaupun ada yang tinggal, hanyalah penjaga tokoh dan bengkel. Seharusnya malah menguntungkan bagi usaha mereka.
Tanggapan Kades, Camat, Koramil, dan Kapolsek-pun lebih memberi indikasi agar umat Kristen beribadah di komplek STPDN saja. Kesan tidak perlu ada gereja sangat terlihat dari setiap komentar mereka.
Apakah kehidupan gereja menjadi tidak menarik dan bersahabat, sehingga menimbulkan antipati warga setempat? Arip, Kades Mekargalih berkilah “GPdI Jatinangor-Rancaekek, telah menimbulkan keresahkan bagi warga. Selain tidak memiliki ijin bangunan dan beribadah, ada banyak jemaat yang datang dari luar Rancaekek untuk beribadah. Seharusnya tidak perlu rumah tinggal dijadikan tempat ibadah.”(Reformata)