Friday, 16 September 2011

Friday, September 16, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Keuskupan Bandung Canangkan September 2011 sebagai Bulan Sensus Umat.
BANDUNG (JABAR) – Keuskupan Bandung telah mencanangkan bulan September 2011 sebagai Bulan Sensus Umat Keuskupan Bandung, dan untuk keberhasilan sensus, tim yang sudah dibentuk termasuk Tim Sensus Paroki sedang menjalankan tugasnya.

Mungkin ada yang bertanya: ”Mengapa harus ada sensus umat? Bukankah selama ini, tanpa sensus umat, kehidupan menggereja dan pelayanan kepada umat tetap bisa berjalan?” Jawabannya ditulis oleh Administrator Apostolik Keuskupan Bandung Mgr Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Sensus Umat Keuskupan Bandung 2011 yang dibacakan pada Misa 27-28 Agustus di keuskupan itu.

“Kehidupan menggereja tentu akan tetap berjalan tanpa harus ada sensus. Namun, kehidupan menggereja kita akan semakin hidup dan pelayanan umat akan semakin mampu menjawab kebutuhan bila kita mengetahui situasi umat, baik kekuatan dan tantangannya,” Mgr Suharyo menjawab sendiri pertanyaan yang ditulisnya dalam surat itu.

Tujuan sensus, lanjut surat gembala berjudul ”Pastikan Diri Kita Terdaftar sebagai Umat Allah” adalah “untuk mendapatkan data kekuatan umat di setiap paroki sekaligus tantangan dan permasalahan yang dialami.”

Mgr Suharyo percaya bahwa Gereja akan bertumbuh berdasarkan kekuatan, maka “keterlibatan semua umat dalam menyumbangkan kekuatan dan bakat yang ada dalam dirinya sangat menentukan kehidupan dan pertumbuhan Gereja,” karena dengan mengetahui situasi kehidupan umat, pelayanan dan program pastoral diharapkan semakin terencana dan mengena dengan kebutuhan dan kerinduan umat.

Dengan kata lain, sensus umat adalah cara agar setiap paroki semakin mampu memahami dan menyapa umatnya, tegas Mgr Suharyo seraya menceritakan bagaimana Yesus berkeliling dari tempat yang satu ke tempat yang lain, berjumpa dengan macam-macam orang, baik yang lumpuh maupun yang buta, baik anak-anak maupun orang muda, baik orang terpandang maupun rakyat jelata.

“Yesus memahami dan menyapa orang-orang yang dijumpainya. Setelah itu, Dia mengajar dan melayani mereka. Bagi Yesus, perjumpaan menjadi kata kunci agar Dia mampu mengajar dan melayani dengan sungguh. Sensus umat juga merupakan sarana agar setiap paroki berjumpa dengan umatnya, mengenali dan memahami mereka sehingga mampu mengajar dan melayani dengan baik.”

Aministrator Apostolik Keuskupan Bandung mengamati, mengenal dan menyapa umat paroki tidaklah mudah bagi pastor paroki dan para pelayan umat. “Kita menyaksikan di beberapa gereja, terutama di kota Bandung, umat harus berdesak untuk bisa mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu. Beberapa gereja bahkan harus menggunakan aula paroki atau mendirikan tenda agar umat dapat duduk mengikuti perayaan Ekaristi,” tulis surat gembala.

Ada fenomena pertumbuhan umat. Setiap tahun umat Katolik bertambah karena pembaptisan. Selain itu, semakin banyak umat Katolik datang dan tinggal di Keuskupan Bandung dan menjadi bagian dari Umat Allah Keuskupan Bandung. Rahmat pertumbuhan umat di Keuskupan Bandung yang membuat Gereja di Keuskupan Bandung semakin hidup patut disyukuri, kata Mgr Suharyo.

“Namun, kita juga menyadari semakin banyak umat, semakin sulit umat untuk dikenal dan disapa. Pertumbuhan umat juga membuat kita tidak saling mengenal satu sama lain. Bahkan, kita dengan rendah hati harus mengakui bahwa ada kecenderungan dari diri kita sebagai umat Katolik tidak mau dikenal dan disapa. Kita ingin hidup menyendiri dan tidak mau melibatkan diri dalam kehidupan menggereja. Kita juga terkadang lupa bahwa kita adalah umat Katolik yang tinggal di suatu paroki dan lingkungan tertentu,” lanjut surat itu.

Sensus umat, jelas Mgr Suharyo, hendak mengingatkan kembali bahwa kita adalah warga umat Katolik yang tinggal di Keuskupan Bandung dan secara khusus tinggal di paroki dan lingkungan. “Dengan membuka diri untuk didata, kita mengakui bahwa diri kita adalah warga gereja. Diperlukan kerendahan hati untuk keluar dari kesendirian kita dan menerima status bahwa kita adalah warga Gereja bersama dengan umat Katolik lainnya.”

Kerelaan menerima petugas sensus yang mendata diri dan anggota keluarga umat, jelas Mgr Suharyo, tentunya merupakan pengorbanan yang sungguh diperlukan untuk membangun Gereja sebagai satu keluarga umat Allah. “Kita semua dipanggil untuk berkorban demi terwujudnya Gereja sebagai Tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Sang Kepala.”

Pengorbanan itu, lanjut Mgr Suharyo, merupakan wujud kesetiaan pada panggilan Tuhan untuk menjadi anggota Tubuh Kristus. “Dengan pengorbanan itu, kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk Allah dan anggota umat Allah.”

Bagian akhir surat gembala mengajak umat Keuskupan Bandung untuk bersama-sama membangun Gereja sebagai Tubuh Kristus. “Sebagai anggota Tubuh Kristus, kita membuka diri untuk dikenal dan disapa. Kita relakan diri kita untuk didata sebagai anggota umat Allah di Keuskupan Bandung.”

Melaksanakan sensus umat tidaklah mudah baik bagi para petugas sensus maupun umat yang akan disensus. Maka, agar sensus umat dapat berlangsung dengan lancar, kata Mgr Suharyo, “Sungguh diperlukan ketekunan dan pengorbanan, partisipasi dan kerendahan hati.”

Mgr Suharyo mengakhiri surat gembala dengan berterimakasih kepada semua orang yang terlibat aktif dalam persiapan sensus, baik di tingkat keuskupan maupun paroki. “Karya dan bakti Anda tentu akan membawa kesegaran dan semangat baru dalam hidup menggereja di Keuskupan Bandung.”

Terima kasih juga diberikan kepada semua umat yang membuka dan merelakan diri untuk didata dalam sensus umat. “Pengorbanan Anda tentu akan menghasilkan buah persaudaraan sebagai umat Allah. Harapan kita semua agar sensus umat ini semakin memperkokoh persekutuan kita dan semakin memampukan Gereja untuk melaksanakan tugasnya sebagai imam, nabi, dan raja.” (Pena Indonesia)