Friday 16 September 2011

Friday, September 16, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mgr Petrus Canisius Mandagi : Dialog Antarumat Beragama Bertujuan Membentuk Kerajaan Allah.
CIMAHI (JABAR) — “Dialog antarumat beragama sama sekali tidak menjurus kepada relativisme religius dan juga tidak bermaksud untuk menobatkan pihak yang lain atau membuat pihak lain ragu-ragu dengan imannya sendiri.”

Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (Komisi HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC berbicara dalam sebuah pelatihan keterampilan dialog bagi pengurus Komisi HAK semua keuskupan se-Indonesia.

Menurut Uskup Amboina itu, dialog antarumat beragama bukanlah semata-mata bertujuan agar masing-masing agama boleh membangun gedung ibadahnya, gedung sekolahnya, gedung rumah sakitnya tanpa dihalangi oleh kelompok umat beragama lainnya.

“Dialog antarumat beragama bertujuan untuk terbentuknya Kerajaan Allah dengan ciri-cirinya cinta kasih, damai sejahtera, kerukunan, keadilan, kebenaran, kejujuran, pengampunan, belaskasihan,” jelas Mgr Mandagi seraya menambahkan bahwa dalam Kerajaan Allah diakui perbedaan-perbedaan.

Kepada peserta yang sebagian besar adalah pastor, uskup memperkenalkan beberapa bentuk dialog yakni dialog kehidupan, dialog dalam kehidupan sehari-hari, dialog karya, dialog pakar, dan dialog pengalaman religius.

Uskup mengingatkan pengalaman dan upayanya menyelesaikan konflik bernuansa agama di Maluku tahun 1999-2004. Di dunia ada beraneka ragam agama, baik di kalangan agama Kristen maupun di kalangan non-Kristen, kata Mgr Mandagi seraya berharap agar ada dialog antarumat beragama.

“Saya berkali-kali menyerukan lewat media massa cetak dan elektronik, bahwa konflik antarumat beragama bisa dihindari dan diatasi bukan dengan saling balas dendam, melainkan dengan dialog antarumat beragama,” katanya.

Pelatihan keterampilan dialog yang berlangsung 10-15 Juli di Rumah Retret Pratista, Cimahi, Jawa Barat, dilengkapi dialog antaragama di pesantren dan gereja Protestan di Bandung. Beberapa peserta mengaku belum pernah masuk pesantren.

Narasumber lain dalam pelatihan adalah cendekiawan Muslim Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan, Majalengka, KH Maman Imanulhaq, dan Pendeta Albertus Patty dari GKI Maulana Yusuf Bandung.

Berbicara tentang konflik antarumat beragama, Kang Maman menyinggung soal konflik yang kerap terjadi antarumat beragama. “Konflik tidak harus merupakan kejahatan dan kegagalan sistem. Konflik justru merupakan kekuatan kreatif yang menghasilkan jalan baru dan alternatif baru,” katanya.

Bahkan tegas kyai itu, “konflik bisa jadi positif jika mampu meningkatkan komunikasi dan kepercayaan, permasalahan bisa dipecahkan, berujung pada perkembangan dan pertumbuhan, melepaskan perasaan ketertindasan, dan meningkatkan kerja dan kinerja.”

Sementara itu, Kang Jalal menyampaikan pentingnya dialog antarumat beragama. “Biasanya dialog segera terputus ketika dalam diri kita muncul proses dehumanisasi, kita menganggap kelompok yang lain tidak human, atau tidak se-human kita,” katanya.

Dia menegaskan, kehadiran Tuhan mesti dirasakan dalam kehadiran orang sekitarnya. “Sebagaimana cinta kita kepada Tuhan harus dibuktikan dalam cinta kepada sesama, termasuk kecintaan kepada orang-orang yang punya keyakinan, agama atau kepercayaan berbeda,” tandasnya.

Pendeta Albertus Patty mengatakan, sejarah Gereja Kristen adalah sejarah relasi antarumat beragama. “Sejarah Kristen banyak diwarnai pro-kontra secara internal serta ketegangan dan konflik eksternal,” katanya.

Pendeta, yang menceritakan proses keterbukaan Gereja Kristen dari tertutup menjadi terbuka terhadap dialog dengan umat agama lain, mengatakan bahwa dialog adalah pertemuan antardua orang atau kelompok yang menganut agama yang berbeda dalam suasana saling menerima, saling percaya dan saling siap untuk bekerja sama demi kebaikan bersama.

“Dialog tidak hanya sekadar berbicara atau berkomunikasi, tetapi sedang berusaha membentuk komunitas,” tegasnya seraya menambahkan bahwa dialog tidak bertujuan untuk mencari kesamaan, tapi “dengan lega bisa saling membicarakan perbedaan tanpa mempermasalahkannya, atau mencari perbedaan dengan kerendahan hati.”

Yang terpenting, lanjutnya, dalam dialog mesti ada kesataraan. “Tidak ada yang satu lebih tinggi, yang lain lebih rendah, satu berpikir mayoritas yang lain minoritas,” tegasnya.

Peserta pelatihan sudah pulang ke keuskupan masing-masing membawa rencana strategis terkait dengan dialog yang mereka buat di Pratista, namun disesuaikan dengan konteks lokal keuskupan masing-masing.

Menurut informasi yang diterima Pena Indonesia, rencana itu akan dimonitor sedemikian rupa untuk mengetahui efektivitasnya bagi usaha menciptakan dialog antarumat beriman.(Pena Indonesia)