
“Kita, para imam mesti mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memperhatikan nasib rakyat atau umat, yang ada di kampung-kampung, yang saat ini sedang terancam kelaparan akibat gagal panen beberapa waktu lalu,” kata prelatus itu dalam homilinya pada sebuah acara Misa Syukur pada Jumat (16/09/2011).
Ia mengatakan ancaman rawan pangan, serta sejumlah permasalahan lain, perlu ditangani secara terus-menerus.
“Ini bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab semua komponen masyarakat, termasuk pimpinan Gereja, para imam, biarawan-biarawati dan tokoh umat,” katanya.
“Menjadi imam atau biarawan-biarawati itu, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memberikan pelayanan kepada sesama,” tambahnya.
Menurut Gubernur Fransiskus Lebu Raya, ancaman rawan pangan sebagai akibat dari gagal panen telah menjadi sangat serius.
“Di Nusa Tenggara Timur saat ini terjadi ancaman rawan pangan di sepuluh kabupaten. Pemerintah menanggapi masalah ini adalah sangat serius, yang harus segera di tangani, dan perlu melakukan intervensi demi menjamin ketersediaan pangan masyarakat,” katanya.
Gubernur juga meminta para pastor paroki, mengajak umat di wilayah pelayanannya, untuk tidak saja mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, tetapi terbiasa dengan diversifikasi pangan dengan pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan.
“Pangan lokal juga mengandung nilai gizi dan karbohidrat sangat tinggi. Dengan makan pangan lokal sama dan semartabat makan nasi,” ujarnya. (Cathnews Indonesia)