'Tak Tersentuh Aparat' |
Di tengah khidmatnya upacara kebaktian, Pendeta Bernhard menerima telepon. Kapolsek Sumedang mengatakan massa Front Pembela Islam (FPI) sebuah ormas intoleran bertopeng agama dalam perjalanan menuju gereja. ”Ketika saya memimpin kebaktian, Kapolsek menelepon dan menyuruh saya menutup gerbang gereja. Katanya FPI menuju tempat kami,” kata Bernhard.
Pendeta Bernhard segera turun dari lantai dua untuk menggembok pintu gerbang gereja. Tak lama berselang terdengar teriakan, “Allahu-akbar, Allahhu-akbar….“ Massa bersorban membawa spanduk bertuliskan “usut gereja liar” serta berbagai senjata tajam telah mengepung gereja.
Jemaat peserta kebaktian mengamankan diri dengan mengunci diri di dalam gereja. Pendeta Bernhard mengintip dari lantai dua. Di luar, Kapolsek Sumedang Sujoto yang sebelumnya menginstruksikan agar menutup pintu gerbang justru membuka gembok. “Saya heran. Kapolsek yang menyuruh saya mengunci gerbang malah membuka kunci itu,” ujarnya.
Merasa diberi jalan oleh Kapolsek, massa FPI merangsek dan mendobrak pintu gereja. Mereka memporak-porandakan isi gereja sambil mengacung-acungkan celurit, pedang, dan tongkat. Kursi-kursi dilemparkan. Para jemaat dikumpulkan paksa di tengah ruang gereja. Sebagian jemaat melarikan diri melalui sawah di belakang gereja.
Massa FPI lalu memeriksa ruangan demi ruangan mencari Pendeta Bernhard. ”Keluar. Cepat keluar!” teriak mereka. Merasa nyawanya terancam, Bernhard dan istrinya, Corry Pianaung, bersembunyi di ruang kerja di lantai dua. Massa yang beringas menemukan dan menggiring keduanya menuju lantai satu tempat seluruh jemaat dikumpulkan.
Bernhard berhasil melarikan diri dan lari ke lantai dua. Karena khawatir atas keselamatan jemaatnya, beberapa menit kemudian dia memberanikan diri keluar dan menemui massa FPI serta jemaatnya di ruang tengah gereja.
Pendeta Bernhard dan istrinya lalu digiring menuju ruangan gereja lama yang sudah tidak digunakan. Di ruangan itu sudah menunggu Camat Jatinangor Nandang Suparman, Kapolsek Jatinangor Sujoto, beberapa anggota Koramil Jatinangor, serta massa FPI. Berhard pun dipaksa menandatangani surat persetujuan menutup Gereja Pantekosta yang sudah 25 tahun berdiri itu.
“Waktu membaca isi surat itu tertulis saya bersedia menutup gereja ini untuk selamanya tanpa ada paksaan. Mana bisa isi suratnya seperti itu? Sudah jelas saya dipaksa menandatanganinya, di sana malah tertulis tanpa paksaan. Makanya saya menolak menandatanganinya,” kata Bernhard.
Orang-orang FPI, Camat, Kapolsek, serta anggota Koramil Jatinangor terus memaksa Bernhard menandatangani surat tersebut. Mereka mengajak Berhard berunding di Kecamatan Jatinangor tiga hari setelah penyerangan. Dalam pertemuan kedua itu Bernhard bersedia menandatangani surat perjanjian tersebut karena diintimidasi massa FPI dan Camat, Kapolsek, dan anggota Koramil.
Nikah Lari
Gedung GPdI Jatinangor |
Rencana pernikahan yang telah disusun jauh-jauh hari berantakan dua hari sebelum prosesi sakral dilaksanakan. Camat Jatinangor Nandang Suparman menyarankan agar pernikahan tidak digelar di gedung Gereja. Alasannya, ada ancaman penyerangan terhadap acara itu.
Nandang memberikan alternatif pernikahan dilakukan di aula Kecamatan Jatinangor. ”FPI mengancam mengacaukan pernikahan tersebut jika mereka bersikeras menggelarnya di gereja. Jadi, saya beserta Kapolsek dan Koramil menyarankan mereka menggelar pernikahan di kantor kecamatan saja,” katanya.
Sehari menjelang pernikahan, keluarga Luciana mengungsikan prosesi pernikahan di Tasikmalaya. Pihak keluarga sudah tidak kuat menghadapi berbagai tekanan yang menghantui persiapan pernikahan anak mereka.
Hal yang dikhawatirkan keluarga Fernando dan Luciana terjadi. Sabtu 24 September sekelompok preman membuat gaduh di gereja Pantekosta.
Mereka berdemo dan menggoyang-goyang gerbang gereja. Mereka mengira pernikahan digelar di gereja karena acara di kantor kecamatan dibatalkan.
“Waktu saya di Tasik untuk melakukan pemberkatan pernikahan Fernando, massa bayaran Lurah (Mekar Galih) Arief berdemo di depan gereja. Mereka pikir kami menggelar pernikahannya di gereja. Padahal, kami sudah ada di Tasik,” kata Pendeta Bernhard.
Bernhard yakin massa yang melakukan demo dan merusak pintu gerbang gereja pada Sabtu itu merupakan orang-orang bayaran Arief Saefuloh. Menurut kesaksian pekerja gereja, pada saat terjadi demo Lurah Mekar Galih itu terlihat di belakang gereja memobilisasi massa.
Istri Bernhard, Corry juga yakin massa berdemo dan merusak gerbang gereja orang-orang bayaran Arief. ”Pertama kali gereja ini dibangun, lurah itu membuat gaduh gereja ini. Namun, setelah diberi pinjaman uang dua juta dia jadi berbalik menjaga gereja ini dan terbukti aman. Sekarang dia membuat gaduh lagi dengan mengerahkan ormas serta preman bayaran. Mungkin dia mau minta uang lagi,” kata Corry.
Izin Tempat Ibadah
Selain jemaat GPdI yang dilarang melakukan ibadah di gerejanya, 300 ribu lebih umat kristiani di Kabupaten Bandung sulit mendapatkan tempat untuk beribadah. Pemerintah Kabupaten Bandung belum pernah sekali pun mengeluarkan izin untuk pembangunan gereja meskipun segala persyaratan telah dipenuhi.
”Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang tidak pernah ada gereja resmi di wilayah Kabupaten Bandung,” kata JM Nainggolan, Kepala Bimbingan Masyarakat Kristen Kantor Wilayah Kementrian Agama Jawa Barat.
Menurut Nainggolan, saat ini kebanyakan umat kristiani di Kabupaten Bandung telantar imannya, karena tidak ada tempat bagi mereka beribadah. Bukan hanya tidak ada gereja resmi, gereja semipermanen pun ditutup paksa oleh ormas-ormas.
“Penutupan gereja bukan hanya terjadi pada 14 rumah ibadah di Rancaekek, pada 12 Desember 2010 massa Gerakan Reformis Islam dan Front Pembela Islam menyisir tujuh tempat ibadah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bethania di Rancaekek. Kejadian serupa pun menimpa wilayah lain seperti di Soreang, Baleendah, dan yang terakhir di Gereja Pantekosta di perbatasan Kabupaten Bandung dengan Sumedang,” kata Nainggolan.
Nainggolan pernah menawarkan solusi sulitnya perizinan membangun gereja di Kabupaten Bandung. Dia menyarankan Pemerintah Kabupaten membuat persyaratan bagi developer perumahan untuk mendirikan rumah ibadah bagi seluruh agama di dalam kompleks yang akan di bangun. Dengan begitu umat seluruh agama akan mudah mengakses tempat ibadah. ”Saya dulu mengusulkan seperti itu. Cuman gak pernah ditangggapi,” ujarnya. (VHRmedia)