Thursday, 15 September 2011

Thursday, September 15, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca “Pengumbaran Ing Bang Wetan” Buktikan Awal Perkembangan Gereja di Indonesia Terlepas dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
AMSTERDAM (BELANDA) - Pendeta Yusak Soleiman (45) yang lahir di Jakarta berhasil memperoleh gelar doktornya di Vrije Universiteit Amsterdam, Rabu (07/09/2011), setelah menjawab berbagai pertanyaan dari para penguji dengan disertasi berjudul “Pengumbaran Ing Bang Wetan” (Pengembaraan di Sebelah Timur) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris An Eastern Adventure.

Topik disertasinya adalah Gereja Protestan Belanda pada akhir abad ke-18 di Jawa. Diawali dengan tulisan Dr AA Yewangoe, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang dimuat di salah satu harian Ibu Kota tentang peringatan 400 tahun Protestanisme di Indonesia yang diselenggarakan di Ambon pada 25-26 Februari 2005.

Di situ, ia kritis mempertanyakan apakah perayaan ini untuk memperingati masuknya Kabar Baik (Injil) di Ambon ketika awak kapal VOC pada 27 Februari 1605 menyelenggarakan kebaktian, atau justru sedang merayakan permulaan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia.

Isu ini diangkat oleh Yusak dalam konteks sejarah dengan memahami sentimen yang ada pada diri Yewangoe. “Sejarah kekristenan di Indonesia harus diperbaiki, saya kira,” tulis Yusak dalam disertasinya.

Masuknya Kristen di Indonesia memang selalu dikaitkan dengan penjajahan, yang oleh para sejarahwan Belanda dianggap kurang pas. Kenyataan menunjukkan, masuknya Kristen ke Indonesia tidaklah secepat ke daerah-daerah lain di sekitar Timur Tengah dan Eropa. Bahkan boleh dibilang agak terlambat, bila dibandingkan masuknya Islam ke Indonesia, tepat sesudah runtuhnya Majapahit.

Pada bab pertama disertasinya, Yusak menggambarkan Protestan di Belanda yang lahir karena keinginan untuk memperbaiki Katolik. Reformasi ini dibawa oleh John Calvin. Ia juga menjelaskan tentang seluk-beluk bergereja. Bab 1 berisi tentang Protestan yang dibawa oleh VOC ke Nederland Indie (Nusantara).

Barulah pada Bab 3 ia menelusuri topik yang dibahasnya, yaitu Semarang dan daerah sekitarnya yang manjadi pusat perkembangan Protestan di Timur (dilihat dari Batavia sebagai pusat VOC) yang awalnya dilakukan oleh VOC. Misi Protestan tergambar dengan berbagai kegiatan mengurusi orang-orang miskin, anak yatim piatu, dan mengembangkan kasih. Hal ini tertuang dalam bab-bab berikutnya sampai Bab 9.

Dalam menghadapi pertanyaan para penguji (opponent) ia mengakui bahwa bahan yang diperolehnya di Semarang, tidaklah sebanyak di Batavia. Prof Dr Leonard Blusse memuji bahwa selama belajar di Leiden, ia juga mempelajari bahasa Belanda. Ia harap pertanyaan yang diajukan dalam bahasa Belanda akan ia pahami, walaupun dijawab dalam bahasa Inggris.

Bahkan promotor yang memberi wejangan sesudah Yusak memperoleh ijazah doktornya, menyatakan dokumen VOC menggunakan bahasa Belanda lama, dan kertas-kertasnya ada yang sudah dimakan rayap dan kutu. Yusak pun menjadi “kutu” yang menelusuri fail-fail VOC itu.

Menarik, bahwa "misionaris" di Semarang waktu itu tidak paham bahasa Jawa, tetapi Melayu. Hal ini ditanyakan oleh Dr Hoekema, bagaimana Protestan bisa masuk di wilayah mereka. Yusak menjawab, mereka bergaul melalui anak yatim piatu dan istri petugas tersebut. Selanjutnya Hoekema menyatakan bahwa VOC tidaklah menyebarkan Injil, tetapi berdagang.

Abad ke-19 barulah misionaris yang sesungguhnya membawa Kabar Baik. Yusak mengatakan, berdasarkan penelitian, para misionaris waktu itu tidak dipersiapkan untuk berbahasa Jawa. Ia juga sulit menunjukkan apakah ada saksi yang datang ke rumah-rumah pejabat VOC.

Prof Dr Jongenil menanyakan, apakah proses masuknya Protestan di Semarang itu boleh dikatakan sebagai kristenisasi dan bagaimana pelaksanannya pada orang pribumi, melihat kenyataan bahwa gereja Protestan pribumi sulit berkembang. Yusak menjelaskan, melalui pergaulan dan pengertian umum, ide ini dapat disampaikan melalui pergaulan. Kristenisasi yang terjadi di Maluku berbeda dengan di Semarang.

Misi Portugis lebih dulu masuk ke Ambon, dengan tokohnya Franciscus Xaverius yang bekerja di Ambon dan Ternate (1546-1547), dan misi Katolik Dominican masuk ke Solor. Ketika terjadi pengusiran Portugis di Ternate pada 1574, orang-orang Katolik dibantai atau masuk menjadi Islam.

Pada 1605, mereka dikalahkan oleh VOC. Orang Katolik jadi Protestan, seperti yang terjadi di Manado, Sangihe, dan Talaud. Hal yang sama terjadi di Solor pada 1613. Katolik menyingkir dan bergiat di Flores dan Timor.

Misi pelayaran Belanda pertama terjadi pada 1595 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, tetapi tidak berhasil secara komersial. Pada 1602 didirikanlah VOC di Belanda. Apa yang terjadi di Ambon terjadi juga di Batavia pada 1624, ketika Pastor Egidus d’Abreau, SJ dibunuh saat menyelenggarakan misa di penjara. Ini terjadi di masa Gubernur Jan Pieterszoon Coen.

Dr Th Van den End yang menganggap Yusak sebagai cucu (maksudnya dalam deretan ahli sejarah), mengatakan Kristen yang tumbuh di Semarang itu dinilainya sebagai awal pertumbuhan. Pada abad ke-18, militer yang menjaga kepentingan VOC juga berperan.

Bagaimana gereja dapat hidup waktu itu, Yusak menjelaskan, antara 1750-1790 keadaan di Semarang aman, apalagi sesudah Perjanjian Giyanti. Masyarakat dapat berkembang karena adanya gereja dan dibantu oleh negara. Hal ini diperlunak lagi dengan pergantian Raja di Yogyakarta dan pemberontakan Trunojoyo pada 1670.

Kesimpulan
Menurut Yusak, kajiannya ini mengingatkan betapa pentingnya perkembangan Protestan yang telah banyak dilupakan, walaupun ia tidak berniat untuk memperbaikinya. Ia mengatakan dengan adanya 25 juta halaman peninggalan VOC seperti ditulis oleh Tanap (Towards New Age of Partnership), beberapa yang mengenai Kristen tidak jelas, tapi arsip zending masih banyak.

Ia tidak meragukan bahwa pada 200 tahun pertama, Protestan di Indonesia merupakan kelanjutan abad pertengahan dan awal Eropa modern. Seluruh kajiannnya lebih memusatkan perhatian pada perkembangan Protestan di abad ke-18. Para sejarahwan yang memusatkan perhatian pada awal abad ke-19 dan ke-20, akan dapat membedakan masa VOC dan Pemerintahan Nederland Indie. Pakar sejarah melupakan perkembangan Kristen di abad ke-17 dan ke-18 karena campur tangan pemerintah.

Dalam beberapa kajian, termasuk kajian Yusak, membuktikan bahwa kegiatan gereja independen. Yusak berharap kajiannya juga memberikan inspirasi dan dapat mengungkapkan perkembangan 200 tahun pertama Protestan di Indonesia.

Menutup laporan ini, Yusak berkesimpulan bahwa Gereja Protestan Belanda merupakan budaya Belanda yang harus dikembangkan dan didukung oleh masyarakat, walaupun gereja bukanlah gereja negara. Di Asia, pertumbuhan Gereja Protestan ikut budaya Belanda dengan kultur setempat. Protestan yang hadir di Jawa merupakan kekristenan yang kultural.

Yusak Soleiman yang perhatiannya pada Sejarah Gereja sejak studi di STT Jakarta, melanjutkan Master dalam bidang Sejarah Abad Pertengahan, dan diteruskan di Univeritas Groningen (2003), lalu Univeritas Leiden (2003-2007), menjadi pakar sejarah Gereja di Indonesia yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. (Sinar Harapan)