Saturday 29 October 2011

Saturday, October 29, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca 300 Pemimpin Umat Beragama, Atheis dan Agnostik Upayakan Seruan Perdamaian Dunia.
ASISI (ITALIA) - Paus Benediktus XVI bergabung bersama para biarawan Buddha, ilmuwan Islam, Hindu, dan para ateis dalam upaya menyerukan perdamaian pada Kamis (27/10/2011). Mereka menegaskan bahwa agama tidak boleh pernah digunakan sebagai alat pembenar untuk perang atau aksi terorisme.

Benediktus XVI menyambut sekitar 300 pemimpin yang mewakili agama-agama di seluruh dunia di Kota Asisi, Italia untuk memperingati 25 tahun doa sepanjang hari untuk perdamaian atau yang disebut Spirit Asisi yang diinisiasi almarhum Paus Yohanes Paulus II pada 1986. Doa itu bertujuan untuk mengakhiri konflik perang dingin.

Satu per satu para biarawan, imam, patriarkh berdiri dan menyatakan komitmen mereka untuk berkerja bagi dialog, keadilan, dan perdamaian dan menciptakan dunia yang seimbang dan bersahabat.

Pada 1986, sejumlah tokoh dunia hadir dan berdoa bersama seperti Dalai Lama dan Ibu Teresa. Sementara pada acara Kamis (27/10/2011), pertemuan perdamaian itu dihadiri pula oleh sejumlah muka baru, seperti biarawan Buddha dari daratan Tiongkok dan mereka yang mengaku sama sekali tidak beriman. Selain itu Paus juga mengundang para agnostik dan ateis. Ini adalah upaya Paus Benediktus XVI untuk mencari dan menemukan kebenaran.

Pada acara tahun ini, tidak ada doa bersama menurut agama masing-masing atau doa gabungan dari aliran kepercayaan yang berbeda-beda. Setelah makan siang dengan menu vegetarian risotto, salad, dan buah-buahan, para peserta kembali ke kamar hotel. Di sana mereka berdoa secara pribadi sebelum kembali untuk menyampaikan pendapat akhir. Pada 25 tahun silam, Benediktus tidak menghadiri doa bersama dengan para pemimpin agama lain karena dia tidak setuju dengan cara seperti itu.

Dalam pidato pembukaannya, paus kelahiran Jerman itu menegaskan bahwa perayaan 25 tahun hari perdamaian yang diinisiasi oleh Paus Yohanes Paulus II ditandai dengan hancurnya Tembok Berlin tanpa pertumpahan daerah. Tetapi sungguh ironis bahwa sekarang agama dipakai untuk membenarkan kekerasan. Dia menegaskan bahwa adalah sesuatu yang salah memisahkan iman dari kehidupan setiap hari. Kealpaan Allah dari kehidupan harian manusia sungguh berbahaya.

Kelompok Katolik tradisional mengecam pertemuan tersebut seperti yang juga mereka lakukan pada 1986. Kelompok katolik tradisional dari Serikat Santo Pius X yang didirikan Mgr Marcel Lefebre melihat ini sebagai halangan bagi mereka untuk menerima ajakan Paus Benediktus XVI kembali ke Katolik.

Isu ini sangat sensitif bagi Paus Benediktus XVI yang melawan relativisme agama atau gagasan yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran absolut dan semua agama sama. Kardinal Ratzinger (sebelum terpilih sebagai Paus) menerbitkan sebuah dokumen kontroversial pada tahun 2000 sebagai bagian untuk menanggapi apa yang terjadi di Asisi pada 1986. Dia menegaskan bahwa kepenuhan kebenaran penyelamatan ditemukan dalam Gereja Katolik sendiri.

Pada akhir acara kemarin itu, Benediktus XVI berlutut di depan makam Santo Fransiskus Asisi yang mewariskan pesan cinta perdamaian yang kemudian menjadikan Kota Asisi sebagai tujuan pariwisata rohani selama berabad-abad. Para pemimpin agama juga berdiri hening di samping Paus.

Sementara Uskup Agung Canterbury yang menjadi pemimpin umat Anglikan seluruh dunia Rowan Williams menegaskan bahwa para delegasi tidak berkumpul di Asisi untuk mengurangi kepercayaan pada umumnya. Sebaliknya, pertemuan tersebut memperlihatkan kepada dunia bahwa perbedaan mereka, perbedaan iman menemukan kebajikan untuk meningkatkan perjuangan melawan kebodohan dunia yang masih diwarnai dengan ketakutan dan kecurigaan.

Dalam banyak perbedaan itu, berdiri di altar Basilika Santa Maria Para Malekat, Wande Abimbola dari Nigeri mewakili agama tradisional Afrika Yoruba menyanyikan sebuah doa dan memainkan instrumen perkusi. Dia meminta para pemimpin agama untuk tetap menghormati agama-agama asli.

"Kami selalu ingat bahwa agama kami sendiri, sama seperti agama yang dipraktekan orang lain adalah benar dan sama di depan Yang Mahakuasa yang menciptakan kita semua secara berbeda-beda dan cara hidup yang berbeda dan sistem kepercayaan yang bermacam-macam," ucapnya.

Dalam pertemuan Kamis (27/10/2011) itu, hadir pula Patriarch Ekumenis Bartolomeus I dan perwakilan dari Gereja-gereja Ortodoks Yunani, Rusia, Serbia dan Gereja-gereja Ortodox Belarus, juga para pemimpin Gereja Lutheran, Methodist, dan Baptist. Sejumlah rabbi juga datang bersama 60 pemimpim Islam, lebih dari setengah lusin pemimpin umat Hidun, Shinto, tiga orang dari Thaoist, tiga orang Jains, dan satu orang Zoroastrian. (SP)