Saturday 29 October 2011

Saturday, October 29, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Pantekosta Di Indonesia (GPdI) Cituis Ditutup oleh Warga Muslim Intoleran dari Luar Kampung.
TANGERANG (BANTEN) - Memasuki Perum Cituis Indah, Blok E.42 Suryabahari, Pakuhaji-Tangerang, terlihat rumah dengan ukuran panjang 14x9 meter berada di perbatasan blok perumahan. Pendeta William Laoh menempati rumah tersebut bersama keluarganya. Setiap hari Kamis, Sabtu, dan Minggu, rumah ini digunakan beribadah 20 hingga 40-an orang.

Tiga belas tahun sudah, Gereja Pantekosta Di Indonesia (GPDI) Cituis menggunakan ruang tamu seluas 9x6 meter, untuk tempat beribadah. Kegiatan dilakukan seramah mungkin dengan lingkungan, tanpa memakai speaker dan mikropon. Pendeta William Laoh memimpin jemaat dengan tertib dan akrab lingkungan, bahkan fasilitas seperti kursi dipinjamkan untuk dipakai warga, jika dibutuhkan.

Salah seorang warga bernama Kadani, sebagai seorang Muslim mengakui “Kami dengan Pendeta William, sudah seperti keluarga sendiri. Beliau sangat gaul dan senang membangun hubungan. Jika kami tidak menyukai ada gereja, sudah dari dulu kami beraksi. Terbukti kini, kami tidak suka melihat sekelompok warga lain yang mengaku atas nama kami, untuk menutup gereja,” aku Kadani prihatin.

Pernyataan Kadani terhempas dengan 40 tanda tangan warga, yang dipakai Front Pembela Islam (FPI) untuk mendukung aksi penutupan gereja pada 4 September lalu.

“Ormas dan warga yang beraksi itu tinggal di luar wilayah kampung kami,” tambah Kadani kesal menyingkapi aksi orasi dan tuntutan ormas yang telah mendatangkan hampir 60-an orang itu.

Kronologi
GPDI Cituis, gereja kecil di rumah sederhana, melakukan aktifitas rohani yang positif, ternyata menggelisahkan sekelompok orang. Mengatasnamakan hukum dan masyarakat, orang-orang itu beraksi menolak gereja dan kegiatan ibadah. Aneh bukan?

Tiga hari sebelum peristiwa (04/09/2011), Pendeta William Laoh diberitahukan pihak kepolisian bahwa akan ada serangan yang dilakukan sekelompok ormas intoleran yang tidak setuju dengan kegiatan ibadah GPDI Cituis. Setelah mendapat informasi, pihak gereja lantas mempercepat pelaksanaan ibadah pada Sabtu malam.

Tepatnya Minggu pagi (04/09/2011), sejumlah aparat dari Polsek Tangerang, Koramil, Intel Kodam Jaya bersiaga menjaga keamanan.

Dua orang pengintai dari FPI, mendatangi lokasi setengah jam sebelum aksi dan bertemu dengan Pendeta William. “Adakah kegiatan?” tanya mereka memastikan.

Pendeta William mempersilakan mereka melihat kondisi ruang ibadah yang kosong tanpa kegiatan, kemudian mereka pergi meninggalkan lokasi.

Setelah itu, Pendeta William menyadari kondisi kepalanya menjadi sangat tegang dan fisiknya menjadi lemah. Beliau pamit kepada pihak keamanan dan memasuki rumah. Baru beberapa langkah memasuki rumah, Pendeta William muntah dan jatuh pingsan.

Pihak keamanan langsung mengantarkan Pendeta William ke Rumah Sakit Hermina, Tangerang. “Ada pemberitaan kalau saya disembunyikan di gereja,” tutur pendeta asal Sulawesi ini sambil tertawa kecut.

Saat massa datang pukul 09.30 WIB, Pendeta William sudah tak sadarkan diri dan tidak dapat melihat kejadian sesungguhnya. “Massa datang diperlengkapi dengan kayu panjang semeter dan ada bendera FPI serta teriakan “Allahu Akbar, kafir”, kisah Hendri, warga jemaat yang ada di lokasi kejadian.

Hendri menambahkan, orasi yang dipimpin Habib menyampaikan beberapa hal. “Jikalau masih tetap ada kegiatan, kalau ada anarkis jangan salahkan kami. Kalau bukan kepala pendetanya, rumahnya kami hancurkan,” kisah Hendri mengingat isi orasi yang disampaikan Habib.

Aksi itu diikuti oleh 7 orang dewasa, serta 50-an lebih anak berusia 12-15 tahun. Hal ini dibenarkan Pendeta William, karena diberitahukan juga oleh jemaat yang lain saat dia berada di rumah sakit.

'Silahturami?'
Sementara itu menurut Habib Muhammad Assegaf, Ketua FPI Banten, suara keributan itu bukan dari kelompok yang dipimpinnya. “Orang kami tertib dan damai, karena kami hanya mau silaturahmi. Kami ingin meredakan masyarakat yang mulai marah dengan kehadiran gereja.

Kami hanya ingin menegakkan hukum, serta menyalurkan aspirasi rakyat,” tutur Habib menolak jika teriakan itu dituduhkan dari kelompoknya.

Bagaimana mungkin aksi ini adalah silaturahmi, jika apa yang dilakukan Habib bernada ancaman dan kekerasan? (Reformata)