Gereja Terakhir di Afghanistan (brownpelican.com) |
Sedangkan kini, tempat beribadah dilaksanakan di beberapa tempat dan keduataan militer luar negeri yang menampung peribadatan umat Kristen dari berbagai denominasi.
"Belakangan ini, kebebasan beragama di Afghanistan telah memburuk. Rasa hormat pemerintah terhadap kebebasan beragama dalam hukum dan praktek telah menurun dalam beberapa waktu ini, terutama tertuju kepada kelompok atau individu Kristen,’ demikian bunyi laporan tersebut.
"Pendapat masyarakat yang negatif dan kecurigaan terhadap aktivitas-aktivitas Kristen menyebabkan kelompok-kelompok dan individu-individu Kristen dibidik, termasuk orang-orang Muslim yang menjadi Kristen." laporan menjelaskan.
"Kurangnya respons dan proteksi pemerintah untuk kelompok-kelompok dan individu-individu ini menyebabkan rusaknya kebebasan beragama. Kebanyakan orang Kristen di negara itu menolak untuk ‘menyatakan iman mereka atau berkumpul bersama secara terbuka untuk kebaktian,’ kata Kementerian Luar Negeri yang melanjutkan betapa susahnya umat Kristen pribumi di Afghanistan untuk beribadah, sehingga mereka sering menggunakan kartu identitas dengan agama islam, sebab jika diketahui beragama Kristen, mereka akan dirajam hingga mati.
Ini merefleksikan kondisi kebebasan beragama di negara tersebut sepuluh tahun setelah Amerika Serikat menyerangnya dan menggulingkan rezim Islam Taliban sejak awal 200an.
Dalam dekade yang berlangsung setelah itu, pembayar pajak di AS telah menghabiskan $440 milyar untuk mendukung pemerintah baru Afghanistan dan lebih dari 1700 personel militer AS telah mati melayani di negara itu.
Berdasarkan laporan Kemenlu AS, lebih dari 99 persen populasi adalah Islam dengan jumlah sekitar 30an juta manusia. terbagi dalam Islam sunni (80 persen) dan Islam Shia (19 persen). Sedangkan agama lainnya yakni Sikh, Bahai, Hindu termasuk sekitar 500 sampai 8,000 komunitas Kristen mencapa kurang dari 1 persen populasi. (CNSNews/WWRN/Tim PPGI)