Tuesday 18 October 2011

Tuesday, October 18, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Tanggapan Tokoh Gereja di Indonesia Terkait Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). JAKARTA - Keinginan pemerintah akan adanya Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (UU KUB) mendapat tanggapan dari sejumlah tokoh agama.

Menurut Romo Magnis Suseno, Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU-KUB) yang kini berproses di Komisi VIII DPR, masih terlalu rawan dengan potensi intervensi negara terhadap kerukunan umat beragama itu sendiri.

Pada Pasal 17 dari RUU-KUB tersebut misalnya. Menurut Romo Magnis kata 'Penyiaran agama' itu tentu akan jadi perdebatan sengit yang luar biasa hingga negara bisa mengintervensinya sebab 'Penyiaran Agama' dalam konteks Agama Budha, Islam dan Kristiani sendiri adalah hal yang diamanatkan.

“Demikian juga halnya pada Ayat 2 pada Pasal 17 dari RUU tersebut, penyiaran agama dibolehkan kepada orang-orang yang belum beragama atau atheis, sementara di Indonesia dalam kenyataannya tidak ada orang yang tidak beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing seperti agama yang dianut oleh saudara-saudara kita di pedalaman Sumba dan Kalimantan. Ini bagaimana?” tanya Romo Magnis dalam diskusi bertema ‘Membedah Arah RUU Kerukunan Umat Beragama’ yang digelar oleh Fraksi PKB dan The Asian Muslim Action Network, di gedung Nusantara I, Senayan Jakarta, Jumat (14/10/2011).

Sedangkan, soal mendirikan rumah ibadah, lanjut Romo Suseno, negara melalui pemerintah telah membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan dasar negara, sila pertama Pancasila. Peraturan itu diskriminatif dan rawan pergesekan antarwarga. Misalnya, keharusan izin warga setempat untuk mendirikan rumah ibadah.

Demikian juga halnya dengan pasal-pasal dilarang menyebarluaskan ajaran agama menyimpang.

"Dalam perspektif Kristiani, itu menyimpang. Ini siapa yang menentukan. Apakah tepat RUU itu menggunakan kata menyimpang. Negara tidak mungkin melakukan klarifikasi terhadap suatu kebenaran agama. Sama halnya Islam Sunni dan Syiah," ujarnya.

Senada dengan Romo Magnis, Romo Antonius Benny Susetyo dari sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menilai produk RUU KUB yang tengah digodok merupakan usaha yang buang-buang waktu saja.

Ia mengatakan, keberadaan undang-undang bukan hal yang tepat dalam menyikapi masalah kerukunan di Indonesia.

Dengan adanya rancangan tersebut, katanya, seakan-akan memperlihatkan bahwa di negeri ini umat beragama sedang tidak rukun. “Saya merasa kalau hal itu diatur justru akan menimbulkan konflik baru,” kata Romo Benny.

Ia mengatakan, kerukunan antarumat beragama sebenarnya telah lama terwujud di Tanah Air melalui hubungan yang terjalin berlangsung secara alamiah.

“Hal yang paling penting sekarang ini bagaimana political will dari pemerintah untuk menegakkan hukum secara tegas. Selain itu, pemerintah harusnya tahu bagaimana berkoordinasi antardepartemen,” tambahnya.

Jadi, bukannya membuat lagi undang-undang baru. “Itu artinya pemerintah kurang kerjaan dan hanya buang-buang waktu,” kata Romo Benny.


Undang-Undang Kebebasan Beribadah

Sementara itu Pendeta Andreas Yewangoe, ketua umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengatakan praktik kerukunan beragama terwujud sebelum lahir undang-undang, bahkan negeri ini sekali pun.

Ditambahkan, lebih baik pemerintah menciptakan undang-undang perlindungan kebebasan beragama daripada kerukunan umat beragama.

Pada 14 Oktober, Menko Kesra Agung Laksono mengatakan bahwa pemerintah mendorong adanya undang-undang kerukunan umat beragama. Intinya, ada dua hal yang bisa masuk di dalamnya, yaitu mengenai tindakan preventif dan represif terkait kerukunan. Meski, ia mengaku masih harus melakukan kajian akademik untuk membuat rancangannya. (CathnewsIndonesia/SuaraKarya/Tim PPGI)