Wednesday 16 November 2011

Wednesday, November 16, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Ketidakadilan dan Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua, Masih Tinggi.
JAYAPURA (PAPUA) - Banyak persoalan ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap kaum perempuan di Papua masih tinggi, pasalnya selama ini perempuan Papua lebih banyak menanggung beban kehidupan ekonomi atau tulang punggu ekonomi rumahtangga. Begitupula mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan kesehatan serta kurangnya penghargaan terhadap kaum perempuan di bidang budaya, agama dan keagamaan.

Hal ini diungkapkan Yosehita Aron kepada tabloid jubi usai penutupan Lokakarya Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Realitas Kekerasan terhadap Kaum Perempuan yang diselenggarakan Komisi Pemberdayaan Perempuan Keuskupan Jayapura bekerjasama dengan Counter Women Trafcking Commiission (CWTC) atau Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia(IBSI) di Aula St Klaras Sentani, Minggu (06/11/2011).

“Tanggungjawab lebih besar dibebankan kepada kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maraknya perselingkuhan, perkawinan usia dini, perkawinan tanpa ikatan yang sah.” tutur Yosephita Aron.

Dia melihat beban hidup yang diemban kaum perempuan lebih banyak diakibatkan kurangnya kesadaran dan pemahaman kaum laki-laki untuk memberikan penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan. "Masih ada kaum laki-laki di Papua hanya melihat perempuan itu sebagai untuk memenuhi kebutuhan biologis semata ketimbang menjadi teman kerja yang saling menolong dan mengambil bagian bersama Allah untuk proses penciptaan Manusia,"tutur Aron. Dia mengingatkan kalau pelampiasan nafsu birahi itu bisa terlihat dengan maraknya perselingkuhan tanpa melihat hubungan seks itu suci kalau dilakukan dengan isteri sah dalam rangka menciptakan manusia.

“Kurangnya penghargaan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan lebih terlihat dari maraknya perselingkuhan. Laki-laki yang telah beristeri mau lagi dengan wanita idaman lain. Nah ini yang menjadi soal besar terhadap wanita. Kita mau melihat seks dan perkawinan suci dan kudus untuk mencipatakan manusia menjadi sulit.” tutur Aron.

Yosephita melihat banyak perempuan Papua yang belum menyadari akan adanya kekerasan yang terjadi sehingga pihaknya bekerja sama IBSI untuk menyelengarakan kegiatan Lokakarya ini dan peserta yang hadir hampir dari dekenat Keuskupan Jayapura.

“Kami mengundang peserta dari dekenat-dekenat Keuskupan Jayapura. Dekenat Jayapura, Pegunungan Bintang, Jayawijaya dan Keerom. Mereka ini akan membantu kami bergerak di paroki-paroki untuk membangun kesadaran kepada perempuan Papua tentang pentingya kesetaraan gender” tuturnya.

Sementara itu, Sr. Antonie PMY Koordinator Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) yang menjadi fasilitar sekaligus pembicara dalam seminar itu mengatakan fokus perhatiannya terhadap perdagangan perempuan. "Perdaganggan perempuan memang belum begitu terasa di Papua namun banyak perempuan yang ke Papua karena dikirim dan kemudian kaum perempuan di Papua yang mengalami dampaknya secara tidak langsung. Kami memberikan perhatian terhadap perdagangan perempuan. Perempuan Papua belum mengalami itu tetapi perempuan-perempuan dari daerah lain itu dikirim ke Papua. Perempuan Papua mengalami akibatnya ketika pria Papua terjun ke sana,” tutur perempuan paroh baya ini.

Antonie mengatakan pihaknya ke Papua guna membangun kesadaran kepada perempuan Papua agar bisa mengatasi masalahnya sendiri. “Kami tidak membantu menyelesaikan persoalan melainkan membantu membangun kesadaran perempuan Papua agar perempuan Papua menyelesaikan persoalan dan membangun dirinya sendiri,” ujar Sr Antonie yang murah senyum ini. (Tabloid Jubi)