Wednesday, 2 November 2011

Wednesday, November 02, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Komite Solidaritas Papua Minta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Buka Ruang Dialog dengan Orang Papua.
JAKARTA - Rentetan konflik yang terjadi Papua merupakan akibat dari pembangunan yang dianggap tidak sesuai harapan rakyat Papua yang sayangnya tidak dikelola dengan baik, sesuai komitmen yang dikoar-koarkan pemerintah Pusat. Hal tersebut ditegaskan sejumlah tokoh dan rohaniawan dari Pulau Timur Indonesia yang bergabung dalam Komite Solidaritas Papua, saat berkumpul membahas persoalan Papua, Rabu (02/11/2011) sore, di Warung Daun, Cikini, Jakarta.

Mereka dengan tegas meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka ruang dialog untuk menyelesaikan konflik Papua. Mereka berharap SBY menerima perwakilan masyarakat Papua untuk berdialog mencari solusi di bumi Cendrawasih itu.

"Kami akan membentuk tim yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh agama dan kami minta SBY menerima dan membuka dialog," kata Sekretaris Komite Solidaritas Papua Petrus Reffasie Mike. Nantinya, melalui dialog tersebut mereka berharap menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Selain itu, Komite Solidaritas Papua menyampaikan sejumlah hal terkait situasi terkini provinsi di ujung timur Indonesia itu. Forum ini menilai pendekatan yang dilakukan pemerintah tidak tepat. Hal ini menyebabkan Papua ibarat di ujung tanduk.

Mereka juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti Ketua Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4PB) Bambang Dharmono dengan orang Papua. Pasalnya, Bambang yang berasal dari kalangan militer dinilai tidak paham isu-isu mengenai Papua.

"Bambang itu dari militer. Dia tidak mengerti persoalan yang sebenarnya," ujar Petrus.

Menurut Petrus, pemberitaan selama ini menyebut konflik di Papua terjadi disebabkan masalah kesejahteraan. Menurut dia, konflik tersebut dilatarbelakangi pengabaian dan pemberangusan terhadap ideologi, jati diri, serta rasa keadilan orang Papua. Ia juga menyebut pemekaran wilayah Papua merupakan salah satu strategi untuk memecah belah Papua.

"Siapa bilang Papua tidak sejahtera? Justru, banyak orang datang ke Papua untuk bekerja. Mereka yang mengenakan koteka bukan tak sanggup membeli pakaian. Tapi, kami memakai itu karena kebudayaan, adat istiadat," terangnya lagi.



Mediasi melalui gereja
Senada dengan surat kenabian yang dikeluarkan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) beberapa waktu lalu, Komite Solidaritas Papua pun menyampaikan empat maklumat yang salah satunya berisi penolakan mediasi penyelesaian konflik yang ditawarkan pemerintah. Bagi komite, mediasi yang dilakukan melalui pihak militer, birokrat, maupun politikus tidak akan menyelesaikan persoalan.

Ketua umum Persaudaraan Indonesia Raya (Persira) Pdt Shephard Supit menilai Presiden Yudhoyono terkesan takut untuk membuka dialog dengan masyarakat Papua.

Ia pun mengatakan Presiden sebaiknya mengajak tokoh-tokoh rohaniawan untuk membuka dialog dengan masyarakat Papua. Menurut dia, masyarakat Papua akan lebih memercayai tokoh agamawan ketimbang pendekatan militer.

"Itu kan karena dia takut. Mungkin dia (Presiden) berpikir siapa yang mau jamin saya kalau saya ke Papua?. Makanya, Presiden juga harus mengajak rohaniawan-rohaniawan di kawasan Indonesia Timur untuk membuka dialog," tutur Shephard.

Para tokoh ini meyakini penanganan konflik melalui mediasi rohaniawan Kristen, khususnya dari Indonesia timur, lebih mujarab. Sebab sebagai wilayah mayoritas, umat Kristen melalui organisasi denominasi gereja memiliki pengaruh yang besar dalam menyebarkan kedamaian di Papua. (Tim PPGI)