Friday 18 November 2011

Friday, November 18, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Desak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Menghentikan Kekerasan di Papua dan Berdialog dengan Masyarakat Papua.
JAKARTA - Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mendesak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di Tanah Papua dan segera menggelar dialog. Semua elemen masyarakat Papua harus dilibatkan dalam dialog tersebut, termasuk mereka yang dianggap Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Demikian pernyataan KWI yang disampaikan Wakil Ketua II KWI Mgr Leo Laba Ladjar OFM menjelang penutupan sidang tahunan para uskup di kantor KWI, Jakarta, Kamis (17/11/2011).

Hadir dalam acara ini Ketua KWI Mgr Martinus D Situmorang OFM, Sekretaris Jenderal KWI Mgr Johannes Pujasumarta Pr, dan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI Antonius Benny Susetyo Pr.

Menurut Leo Ladjar yang juga Uskup Jayapura, dialog sejati harus segera diwujudkan dan pemerintah pusat harus memfasilitasi terselenggaranya acara itu untuk mempertemukan semua komponen masyarakat Papua. KWI memandang perlu agar semua kelompok dilibatkan, termasuk OPM, supaya aspirasi mereka bisa didengar dan diketahui pemerintah.

“Jangan sampai karena mereka (OPM) sejak awal dianggap separatis lalu disisihkan dari awal dan dicap sebagai musuh negara, padahal mereka adalah manusia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Papua,” ujarnya.

Meskipun sudah berulang kali disuarakan dan belum juga diwujudkan, KWI, kata Leo, terus menyerukan agar kekerasan demi kekerasan dihentikan di Papua. Tanah Papua haruslah menjadi tanah damai, karena itu dialog yang juga menjadi harapan semua rakyat Papua segera diwujudkan secara tulus.

Dia menegaskan, Papua harus dibangun dengan hati, sehingga masyarakat di ufuk timur itu sejahtera mengerjakan ketertinggalannya dari saudara-saudaranya sebangsa di wilayah Tanah Air lainnya. Kesejahteraan masyarakat yang diharapkan, hanya bisa terwujud kalau ada suasana damai yang memungkinkan semua komponen masyarakat bekerja sama dengan tenang.

Masalah-masalah sosial yang begitu banyak di Papua, cetusnya, tidak mungkin bisa diatasi dengan jalan kekerasan. Kerena itu, KWI menyatakan keprihatinan mendalam dan mengecam tindakan kekerasan tersebut yang jelas-jelas tidak mengindahkan martabat manusia dan merampas hak hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia.

Menurutnya, kekerasan di Papua dan pelanggaran hak-hak orang Papua adalah kisah dengan sejarah yang amat panjang. Jeritan hati orang-orang Papua atas perlakuan itu, tidak bisa hanya dianggap angin lalu atau dibungkam dengan imbauan dan kebijakan sesaat. Diperlukan keberanian pemerintah pusat untuk mengubah sikap, paradigma berpikir, dan mengambil pendekatan baru, serta penyelesaian yang berfokus pada kepentingan kesejahteraan rakyat Papua.

Tidak melindungi
Di bagian lain, KWI mendesak pemerintah pusat, khususnya Panglima TNI, untuk menertibkan keberadaan TNI nonorganik yang diperbantukan mengamankan di Papua, termasuk perbatasan. Disebutkan, personel TNI nonorganik yang ditempatkan di Papua secara jumlah sangat banyak dan secara relatif dalam usia muda, sehingga secara psikologis sangat rentan dan menimbulkan gejolak.

Kondisi itu bukan membuat masyarakat aman atau terlindungi, melainkan menimbulkan permusuhan. Mereka juga tidak mempunyai kegiatan yang secara positif mengisi waktunya. Banyak yang hanya bermain kartu, sehingga ada gesekan kecil saja rentan terjadi konflik, apalagi diawali dengan kecurigaan yang berlebihan.

“KWI minta agar TNI nonorganik ditertibkan agar semangatnya untuk memberi rasa aman terwujud. Sebab, kenyataannya aparat keamanan memang ada, bahkan berlimpah, tetapi justru tidak ada rasa aman bagi masyarakat,” ujarnya.

TNI nonorganik itu, kata Leo, hendaknya ditertibkan dengan menempatkan mereka ke struktural, seperti Kodam, Kodim, hingga Koramil, sehingga mereka hidup bermasyarakat. Kalau mereka hidup dalam pembinaan struktural, mereka bisa berbaur dengan masyarakat, sehingga tidak melulu melihat masyarakat Papua dengan rasa curiga atau bahkan musuh.

Ketua KWI Mgr Martinus D Situmorang juga berharap semua pihak benar-benar mengubah paradigma salah yang selama ini masih melekat pada banyak pihak, termasuk elite bangsa ini.

“Saya merasakan, ada yang tidak beres dengan cara melihat dan memperlakukan, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil untuk Papua. Sepertinya, ada yang belum menerima secara tulus saudara-saudara kita di Papua menjadi benar-benar bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dan paradigma itu harus dikikis habis,” ujarnya.

Tidak ada pilihan lain, kata Situmorang, kecuali membangun Papua dengan hati. Menurutnya, membangun Papua tidak cukup dengan menggelontorkan dana triliunan rupiah, tanpa menyentuh kemanusiaan mereka dengan hati.

KWI juga mendukung ditegakkannya UU Otonomi Khusus di Papua, sebab filosofi dari UU itu adalah melindungi rakyat Papua, memberdayakan mereka sehingga bisa mengejar ketertinggalannya. Kalau selama ini banyak penyimpangan pelaksanaan UU Otonomi Khusus, maka harus diperbaiki dan ditegakkan sesuai semangat awal regulasi tersebut. (Suara Pembaruan)