Sunday, 20 November 2011

Sunday, November 20, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Sarasehan 'Bangun Papua dengan Kasih, Damai dan Setara' di Graha Bethel Jakarta.
JAKARTA - Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya, seperti masalah Papua yang “hangat” akhir-akhir ini. Solusi yang terbaik ialah melalui jalur dialogis yang setara. Peneliti LIPI Elizabet Adriana, Pdt. Karl Erary (tokoh rohaniawan Papua), Brigjen TNI AD Sumardi (Desk Papua) Kemenkopolhukam hadir pada acara Sarasehan Solidaritas untuk Papua di Graha Bethel, Jakarta, Senin, (14/11/2011).

Tema sarasehan ialah “Bangun Papua dengan Kasih, Damai dan Setara”. Elizabet memaparkan tentang perbedaan pandangan antara Jakarta dan Papua. Pola pandang Jakarta yaitu Papua sebagai suatu persoalan yang menyangkut tentang separatisme, otonomi khusus, daerah miskin.

Sebaliknya, katanya, Papua memandang persoalannya sebagai pendekatan emik yaitu persoalan Jakarta berkaitan dengan penderitaan, kekerasan, keinginan untuk merdeka. Selama ini, menurutnya hal itu disimpan sedemikian rapi. Papua mengalami sederet persoalan, antara lain marginalisasi dari sisi hukum, hak ulayat (kepemilikian tanah, Red). Meskipun mobilitas cukup tinggi di Papua, gedung-gedung yang bagus, hal itu menurutnya belum menjawab kebutuhan masyarakat setempat.

Peneliti LIPI ini mengusulkan jalan keluar bagi masalah Papua yaitu pertama, rekoknasi dan pemberdayaan Papua pasca kekerasan yang dialaminya. Pembangunan di Papua harus menyentuh sisi kemanusiaan, bukan sisi fisik dan infrastruktur saja. Kedua, memberikan rasa aman, kebebasan bereskpresi, tanpa intimidasi di tanahnya sendiri.

Tentang suara-suara sebagian besar masyarakat Papua yang ingin merdeka, ia menilai hal itu sebagai ideologi yang tidak pernah berakhir.

“Hal itu akan semakin meluas dan menjadi alat politik untuk menarik perhatian pemerintah. Selain itu ada rasa saling tidak percaya antara Jakarta-Papua,” ujarnya.

Diakhir paparannya, peneliti LIPI ini tetap menyuarakan dialog sebagai cara untuk menghentikan kekerasan di Papua. Ia mengusulkan beberapa hal untuk atasi hal tersebut yakni penyelesaian masalah pelanggaran HAM, pelaksanaan peradilan HAM, penyelesaian masalah tanah antara investor versus rakyat Papua, Tapol / Napol, dan pembenahan kinerja aparat intelejen dan keamanan Papua. “Hal itu adalah syarat utama perdamaian,” ujarnya.

Menyikapi penggeledahan asrama-asrama mahasiswa Papua di Jakarta beberapa hari lalu, Sumardi, utusan Kemenpolhukam mengatakan bahwa itu tindakan oknum, bukan institusi aparat keamanan. Ia bahkan menilai, itu kesalahan prosedur yang dilakukan satuan-satuan tertentu. “Jika ada oknum yang bersalah, silahkan ditindak melalui hukum yang berlaku,” ujarnya. Pandangan Sumardi langsung dikritik secara keras oleh Sekretaris Umum FKKJ, Gustaf Dupe.

Soal integrasi Papua ke Indonesia, dinilai Pdt. Karl sebagai tindakan bernuansa politis, sekaligus sebagai rekayasa politik , bukan integrasi budaya dan manusianya. Ia memaparkan, secara organisatoris, Sidang Raya PGI ke-15 di Mamasa telah menyuarakan agar segera dilakukan dialog Jakarta-Papua.

Bahkan, Dewan Gereja Sedunia pada tahun 2010 telah menyerukan penentuan nasib sendiri masa depan Papua. Hamba Tuhan ini secara tegas menyatakan jika masalah ini berlarut-larut, pihaknya akan melibatkan PBB untuk menyelesaikan masalah Papua.

“Papua bergabung pada masa lalu karena PBB. Saat ini jika semua usaha mengalami jalan buntu (mentok, Red). Wajar jika kami memanggil PBB,” ujarnya.

Ketika Redaksi menanyakan siapa dari pihak Papua yang paling berwenang mewakili rakyat dalam perundingan, secara tegas Pdt. Karl menjawab singkat "Ketua Dewan Adat", namun ia sekarang dalam tahanan, usai memimpin Deklarasi Republik Demokratik Papua Barat beberapa waktu lalu.

Bagaimanapun, masyarakat Papua adalah bagian dari negeri ini. Mereka layak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, peningkatan masalah kesejahteraan. Faktor alam yang luas, penduduk yang terpisah-pisah diberbagai wilayah merupakan tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk melakukan pembangunan.

Kondisi demikian harus diupayakan suatu sinergi antara gereja dan pemerintah pusat – daerah untuk mempercepat upaya pembangunan. Konflik-konflik saat ini seyogyanya juga melibatkan tokoh-tokoh rohaniawan dalam perundingan antara Jakarta-Papua (Sinode GBI/GBI Kapernaum)