Friday 4 November 2011

Friday, November 04, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Umat Kristen di Jazirah Arab terancam Punah. KAIRO (MESIR) - Pembunuhan atas puluhan demonstran Kristen Koptik selama gejolak baru-baru ini di Kairo, Mesir, adalah salah satu perbuatan dari warga keturunan Arab, yang sebenarnya bisa diprediksi.

Diktator sekuler seperti Hosni Mubarak di Mesir, Saddam Hussein di Irak dan Muammar Gadaffi di Libya, adalah sebuah mimpi buruk berdarah bagi para pembangkang politik termasuk kelompok muslim garis keras.

Sehingga selama kepemimpinan para diktator ini, sebagian besar minoritas Kristen merasa dilindungi dan diperbolehkan untuk menjalankan keyakinan agama mereka dari tekanan para pemberontak muslim. Sebagai gantinya, mereka harus kompromi diam-diam, menjaga jarak dari politik.

Hal ini dikenal di Vatikan sebagai “sindrom panda”, Panda adalah beruang vegatarian yang tidak berbahaya yang dilindungi oleh pemerintah Cina untuk mencegah kepunahan.

“Tapi kalau suatu spesies harus dilindungi, itu berarti sudah semakin punah,” jelas Pastor Samir Khalil Samir SJ asal Mesir.

Samir adalah seorang pakar politik dan keagamaan yang diminta Paus Benediktus XVI untuk mengatur sinode para uskup Timur Tengah pada bulan Oktober 2010 di Roma. Dan dia tahu bahwa “panda-panda” Kristen di tanah kelahirannya dan di seluruh dunia berjuang keras untuk bertahan hidup yang lebih baik.

Itu sebabnya banyak uskup Katolik setempat menghadapi pemberontakan di Maghreb dan di tempat lain di sekitar Mediterania dengan skeptisisme dan keprihatinan. Mereka meramalkan bahwa kemajuan politik bisa dijalan dengan kemerosotan agama, dan memburuknya kondisi mereka sebagai warga negara non-Islam.

Hal ini nampaknya terjadi. Kelas-kelas penguasa baru yang berbeda dari satu negara ke negara lain, tetapi mereka cenderung memiliki kesamaan identitas Islam yang kuat.

Kelompok ekstremis Islam yang lebih menentang minoritas Kristen karena dianggap sebagai dosa asal ganda: menjadi sekutu mantan rezim yang dibenci, dan menjadi “agen nilai-nilai Barat”, meskipun mereka telah tinggal di sana selama 2.000 tahun atau lebih. Akibatnya, kemungkinan kepunahan mereka sebagai sebuah komunitas terus bertumbuh. (Ucanews/cathnewsindonesia)