Monday 26 December 2011

Monday, December 26, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Musik Keroncong Iringi Perayaan Natal di Gereja Kampung Tugu.
JAKARTA - Ada yang berbeda dalam perayaan Natal yang berlangsung di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Ya, perayaan Natal di Kampung Tugu sarat akan nuansa budaya bangsa Portugis yang bercampur dengan budaya lokal. Buktinya, saat perayaan Natal, musik keroncong tampak dominan mengiringi ibadah Natal yang dijalankan warga setempat.

Berbeda dengan kebanyakan umat Kristiani lainnya, warga Kampung Tugu juga menjalankan ibadah Natal yang dilaksanakan setiap tanggal 22 Desember. Uniknya, ibadah yang dilakukan warga diiringi musik keroncong yang konon cikal bakal musik tersebut berakar dari bangsa Portugis. Seperti diketahui, mayoritas penduduk Kampung Tugu merupakan keturunan bangsa Portugis yang sudah menempati kawasan tersebut sejak beratus-ratus tahun lalu. Karenanya, tak heran jika musik keroncong dapat tetap hidup mengakar di komunitas warga Kampung Tugu.

Sejumlah grup musik keroncong terkemuka pun lahir dari komunitas warga di Kampung Tugu. Grup musik keroncong seperti Kerontjong Toegoe, Mardiker Junior, Keroncong Cornelius, Kafrino Tugu lahir melalui komunitas Kampung Tugu.

"Warga di sini memainkan keroncong tidak hanya dirumah, tetapi di gereja juga untuk mengiringi ibadah. Sebab, hanya di gereja Tugu yang tidak memiliki organ. Itu yang membedakan komunitas kami di Indonesia. Orang Tugu tidak pernah lepas dari alat musik keroncong," ujar Artur Michiels, Humas Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT) ketika ditemui di Gereja Tugu, Semperbarat, Koja, Jakarta Utara, Minggu (25/12/2011).

Menurutnya, saat ini warga Kampung Tugu hanya mengisi kegiatan Natal dengan berdoa, merenung dan berkumpul bersama keluarga. Berbeda dengan saat tahun 1970-an, di mana warga Kampung Tugu berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya dengan membawa lampu lampion sebagai penerangan dan mengucapkan salam Natal menggunakan bahasa Portugis dan minum-minum sampai pagi.

Namun, seiring perkembangan zaman, membuat hal itu tidak bisa lagi dipertahankan. "Sebab, saat ini sudah banyak lampu dan pada zaman sekarang bila kami minum-minum, kami khawatir hal itu akan menimbulkan salah paham. Untuk itu sekarang kami hindari," kata Artur.

Tidak hanya saat perayaan Natal saja, pada acara tahun baru pun, dikatakan Artur, kebudayaan leluhurnya juga masih dipertahankan hingga sekarang. Yakni, setiap tanggal 1 Januari, selepas beribadah di gereja, warga Kampung Tugu berkumpul di satu rumah dan duduk-duduk sambil mendengarkan alat musik keroncong. Kemudian kami pergi ke satu rumah berkeliling kampung hingga rumah lainnya sambil mengucapkan selamat tahun baru dan diiringi musik keroncong antar sesama warga. "Kegiatan ini disebut Rabu-rabu artinya mengekor, dan berlangsung selama satu minggu," ungkapnya.

Jemaat Gereja Tugu sendiri, diungkapkan Artur, terdapat 150 KK dengan 750 jiwa dan tersebar di Indonesia. Terdapat 3 kali ibadah pada saat perayaan Natal di Gereja Tugu. Yakni, tanggal 24 Desember jam 18.00 dan 21.00 dan tanggal 25 Desember jam 09.00. Setiap perayaan natal mereka jarang berkunjung ke gereja tugu, mengingat gereja pada saat ini sudah banyak. "Tetapi pada saat Tahun Baru warga Tugu pasti berkunjung ke gereja Tugu," jelasnya.

Sejarah Berdirinya Gereja Tugu
Sejak kedatangan orang Portugis dan menetap di Kampung Tugu pada tahun 1661, warga kemudian mendirikan Gereja Tugu pada tahun 1678. Pembangunannya, diprakarsai seorang pendeta bernama Melchiorleydecker yang merupakan keturunan Portugis. Selain untuk tempat peribadatan, saat itu gereja juga berfungsi sebagai sekolah.

Karena jemaatnya terus bertambah, pada tahun 1738, oleh pendeta Van der Tijd, Gereja Tugu kemudian diperbesar. Namun, pada tahun 1740, saat Gubernur Jenderal dijabat Andriaan Valcenier, terjadi pemberontakan yang dikenal dengan sebutan Cina On Lusten, dimana gereja Tugu saat itu dibakar berikut dokumen-dokumen yang ada di dalamnya ikut hangus dilalap api.

Oleh seorang tuan tanah yang bernama Yustinus Vinc kemudian dibangun sebuah gereja baru di lokasi yang sama. Pembangunan mulai dilaksanakan pada tahun 1744 setelah mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal saat itu, Baron Van Imhoff.

Pada tahun 1747 gereja pun selesai dibangun dan sudah dapat digunakan sebagai ibadah. Pada tanggal 27 Juli 1748 gereja Tugu diresmikan oleh pendeta Johan Mauritze Mohr. Pada saat itu, kebaktian yang dilakukan menggunakan tiga bahasa yaitu, bahasa Portugis, Belanda dan Melayu. Hingga kini, gereja ini masih berdiri kokoh dan diberi nama Gereja Tugu. Kepenggalan kata portugis, por"tugu"es.

"Kami selalu mendapat dukungan dari Pemprov DKI Jakarta, seperi halnya Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang selalu menyempatkan hadir saat Gereja Tugu menggelar acara," tandas Arthur yang juga paman pesepakbola naturalisasi Indonesia, Diego Michiels. (BeritaJakarta)