Sunday 25 December 2011

Sunday, December 25, 2011
2
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua : Benih Separatisme di Papua Ditabur oleh Jakarta. JAYAPURA (PAPUA) - Delegasi pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua mengatakan masalah separatisme yang menjadi akar persoalan di Papua sejak 1961 merupakan akibat dari Pemerintah Pusat, sebab Jakarta-lah menabur benih nasionalisme (separatisme) orang Papua dengan mengorbankan sejumlah orang di seluruh tanah Papua.

Hal itu disampaikan para delegasi pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua dalam konferesi persnya di Kantor Sinode Gereja Kema Injil Papua di Jayapura, Papua, Kamis (22/12/2011) dengan mengangkat judul pesan 'Nasionalisme atau Separatisme Papua sebagai Hasil 'Perkawinan Paksa Jakarta Papua'. Jakarta sebagai Penabur dan Pengguna Benih Separatisme Papua'.

Pesan yang telah disampaikan kepada Presiden RI di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2011 itu, perwakilan pemimpin gereja di Tanah Papua memaparkan sejumlah catatan bagi Jakarta menaburkan benih separatisme di Papua melalui kebijakan-kebijakan sepihak, sejak Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Mereka mengatakan, Presiden Soekarno secara sepihak menguburkan kehendak orang Papua untuk mendirikan suatu negara yang dipersiapkan melalui Komite Nasional Papua dengan sejumlah atribut kenegaraan, seperti Lagu Kebangsaan, Bendera Kebangsaan, dan Lambang Negara pada tahun 1961.

Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno, juga menandantangi perjanjian Amerika tanpa melibatkan orang Papua. Orang Papua hanya menerima keputusan pemerintah Jakarta dan Belanda, demi kepentingan ekonominya di Papua. 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda Menandatangani Perjanjian New York.

Sebulan kemudian, pemerintah Belanda menyerahkan adminitrasi pemerintah kepada UNTEA. UNTEA pun tidak segan-segan menyerahkan adminitrasi pemerintahan kepada pemerintah Indonesia yang mengincar Papua pada 1 Mei 1963.

Dikatakan juga, penyerahan adminitrasi pemerintahan kepada pemerintah Indonesia itu, untuk mempersiapkan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Namun dengan kepentingannya, pemerintah Indonesia akhirnya merekayasa PEPERA 1969.

Tak berhenti menanamkan benih separatis melalui manipulasi tindakan pilihan bebas orang Papua. Pemerintah Indonesia juga menanamkan benih separatisme melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang berorientasi menjaga keutuhan Negara dengan mengabaikan nilai kemanusiaan orang asli Papua.

Semua yang dikerjakan di Papua atas nama pembangunan adalah untuk kepentingan NKRI. Pemerintah memperlihatkan itu melalui operasi-operasi militer sejak tahun 1960-an hingga kini. Jakarta melakukan kekerasan ekonomi, sosial-budaya, eksploitasi sumber daya alam. Terus juga memunculkan stigmatisasi Papua bodoh, separatis, malas, koteka, Gereja Papua mendukung Papua merdeka dan Papua komsutif, dan lain sebagainya.

Otonomi khusus (Otsus) yang diharapkan membawa orang Papua keluar dari lingkaran pencitraan itu malah gagal. Otsus malah membawa dampak kekerasan semakin meningkat melalui sejumlah keputusan dan kebijakan yang tidak mematuhi amanat Otsus.

Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat/Papua Barat. MRP yang dilumpuhkan. Kekerasan militer yang terus berlanjut melalui pembangunan/penambahan batalyon (Merauke, Wamena, Nabire), pelangaran HAM berat dalam Kasus Wasior 2001, penculikan Theys Eluay, Wamena berdara 6 Oktober dll. Otsus yang tidak didukung oleh Perdasi dan Perdasus yang menyebabkan pemenuhan dan perlindungan terhadap orang Papua tidak berjalan.

Sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan orang Papua dan bertentangan dengan hukum itu, melahirkan nasionalisme orang Papua (pemerintah menganggapnya separatisme). Delegasi pemimpin gereja di Tanah Papua menilai kekerasan terhadap orang asli Papua ini tidak bedanya dengan sejarah orang Jawa dan Sumatera semasa penjajahan Belanda.

Pengalaman ini tidak bedanya dengan yang dialami orang pribumi Jawa dan Sumatera dalam tahun 1900-an yang melahirkan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Jawa yang menentang kebijakan yang mempra-porandakan kehidupan orang Jawa da Sumtra kemudian dipandang pemerinta Belanda separatis.

Dengan pandangan nasionalisme Papua merongrong kedaulatan dan pembangunan NKRI, pemerintah mengirim pasukan ke Papua. Pemerintah membenarkan dan melegalkan kekerasan yang berujung kepada pemusnahan orang asli Papua. Ini yang menjadi keprihatinan gereja-gereja di tanah Papua.

Empat rekomendasi
Keprihatinan gereja atas nasionalisme Papua dijadikan dasar untuk membenarkan pengiriman dan pengunaan pendekatan keamanan di Papua, yang pada gilirannya akan melahirkan pemusnahan etnis. Hal ini bukan lah sesuatu yang tak mungkin kalau pemerintah tidak merubah kebijakannya. Atas kemungkinan itu, para pemimpin gereja-gereja di Papua pun  merekomendasikan empat poin penting kepada presiden RI dalam pertemuan dengan pemerintah di Jakarta (16/12/2011).

Pertama, Gereja-gereja di Tanah Papua meminta pemerintah pusat membuka diri menggelar dialog yang inklusif, tanpa syarat, yang adil bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi pihak ketiga yang netral.

Kedua, dalam rangka dialog yang dimaksud, Gereja-gereja di Tanah Papua mendesak presiden segera menghentikan Operasi Tumpas Matoa yang sedang berlangsung di Paniai sejak 12 Desember 2011 lalu, yang kini telah menewaskan 14 orang, melukai puluhan lainnya dan kampung-kampung. Menarik pasukan non-organik dari Papua, membebaskan para tahanan politik dan mencabut PP. No.77/2007 tentang larangan pengunaan symbol-simbol bernuansa separatisme, Aceh, Maluku dan Papua.

Ketiga, agenda menyelamatkan Otsus Papua dan UP4B yang akan dijalakan, dinyatakan sebagai kerja sepihak pemerintah Indonesia yang tidak demokratis karena dilahirkan tanpa partisipasi rakyat Papua.

Keempat, dengan adanya nasionalisme Papua yang telah lama yang dipicu berbagai kebijakan pemerintah Indonesia yang berbau kekerasan dan ketikdakadilan sistematis, pemimpin Gereja-Gereja Papua menyampaikan kepada presiden bahwa keinginan orang Papua membentuk pemerintahan sendiri telah mengkristal. Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara Umat Tuhan di tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri.

Empat poin penting ini pun ditanda-tangani empat orang dari perwakilan Gereja-gereja Papua, yakni Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua Pdt. Jemima J. Krey, Pdt. Benny Giay Ketua Sinode Kigmi di Tanah Papua (KINGMI Papua), Pdt. Socratez Sofyan Yoman selaku perwakilan Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Babtis Papua (PGBP) dan Pdt. Martin Luther Wanma selaku Majelis Umum Sinode Gereja Kristen Alkitab Indonesia (GKAI). (Voxpapua/Tim PPGI)