Sunday, 29 January 2012

Sunday, January 29, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja-gereja di Amerika Serikat Imbau Persatuan Melawan Penganiayaan Umat Kristen di Timur Tengah.
BOSTON (AS) - Sebuah pertemuan antar pemimpin gereja dan aktifis kebebasan beragama yang dilaksanakan oleh komite pemantau masalah-masalah di Timur Tengah mengajak Gereja-gereja di Amerika khususnya para pemimpinnya agar melawan pemusnahan berkelanjutan terhadap Kekristenan di Timur Tengah.

Pertemuan pada Sabtu (21/01/2012) di Hotel Sheraton di Framingham, Massachusetts ini disponsori oleh Committee for Accuracy in the Middle East Reporting in America (CAMERA) mengangkat judul 'The Persecution Church : Christian Believers in Peril in The Middle East'.

Menurut salah satu pemimpin CAMERA, Andrea Levin, pesan penting yang ingin disampaikan dalam pertemuan ini adalah, Kekristenan di tempat kelahirannya terancam akan hancur dan tugas semua orang untuk mengungkap dan menyorot secara konsisten berbagai bentuk penganiayaan terhadap umat Kristen di Timur Tengah, demi mencegah kekerasan pada masa depan.

Supremasi Islam
Dr Walid Phares, seorang pembicara asal Libanon menyatakan selama bertahun-tahun umat Kristen, Yahudi dan kaum minoritas lainnya di Timur Tengah telah menjadi korban kekerasan dari kelompok Islam yang dibayang-bayangi oleh kebencian besar mereka terhadap Israel dan sentimen negatif mereka terhadap negara barat.

Frank Salameh, seorang pengajar di Boston menyatakan media lebih memilih memberitakan korban kekerasan di Timur Tengah secara umum dan tidak memprioritaskan kekerasan dan pemusnahan terhadap Umat Kristen Timur Tengah.

"Mendokumentasikan penyerangan terhadap Umat Kristen [di Timur Tengah] tidaklah bergaya [tidak populer], sebab selalu dianggap sebagai anti-Arab dan anti-Muslim, dan negara barat selalu berusaha untuk memisahkan dua hal itu dari dunia Arab," kata Salameh.

Hal ini diamini Raymond Ibrahim, penulis buku Al Qaeda Rader. Dikatakannya selama 1,400 tahun sejak Muhammad mendirikan agama Islam dan kaum muslimnya, umat Kristen dan umat minoritas lainnya di Timur Tengah telah dipaksa untuk patuh kepada Islam dan para penguasa mereka.

Dikatakan pula, aksi 'pemaksaan kekuasaan' yang sama terjadi hingga hari ini malah, hal itu didengungkan dan diserukan oleh para pemimpin agama mereka disetiap kesempatan.

Ibrahim merujuk pada aksi-aksi pembakaran, penghancuran dan pelecehan gedung gereja sebagai contohnya, ini bukanlah sebuah aksi spontanitas segelintir kelompok muslim, tetapi dilakukan secara sistematis di seluruh wilayah kekuasaan Islam, katanya.

"Ini telah ditulis pada sebuah ayat di Quran yang menginstruksikan muslim untuk melawan orang-orang Buku [Kristen dan Yahudi] hingga mereka membayar jizya dan merasakan ketidakbahagiaan," ungkap Ibrahim.
Dikatakannya, Perjanjian dari Umar Abd al-Khattab pada abad ke delapan (717) adalah sebuah mitos yang konon menyatakan Islam telah memberi toleransi dengan umat Kristen, fakta sebenarnya dari perjanjian itu adalah pernyataan umat Kristen sebagai warga kelas bawah (dhimmi) yang hak-haknya dibatasi.

Selain dipaksa membayar pajak khusus yang tinggi, peraturan yang dipaksakan kepada umat Kristen Syria yang konon dikatakan sebagai warga yang 'dilindungi' (dhimma) ini faktanya sangat berlawanan dengan apa yang dijunjung sebagai 'toleransi', beberapa peraturan tersebut seperti umat Kristen dilarang untuk mendirikan gedung gereja, dilarang menginjili, dilarang membaca Alkitab, dilarang mencegah seorang Kristen masuk Islam, dilarang meniru benda-benda ciptaan muslim, dilarang menggunakan pakaian mirip muslim, dilarang berbicara dengan muslim dan dilarang mendirikan gedung lebih tinggi daripada milik muslim, konyolnya masih berlaku hingga hari ini katanya.

Kesaksian
Selain memberi opini, para hadirin juga mendengarkan kesaksian dari para saksi mata kekerasan Umat Kristen di Timur Tengah.

Julia Taimoorazy, pendiri Dewan Pemulihan Kristen Irak (ICRC) menceritakan kisah memilukan yang dialami Umat Kristen Assiria di Irak. Disebutkan gedung-gedung gereja telah diledakkan lebih dari ratusan kali. Malah dalam sehari bom-bom yang telah dikoordinasikan dapat meledakkan beberapa gedung gereja dalam sekali serangan.

"Kebanyakan serangan [ledakkan bom] terjadi pada hari Jumat, sebagai tanda ibadah untuk umat Islam," kata Taimoorazy.

Dikatakan pula, para pendeta yang berpotensi mengancam Islam (baik penginjilan maupun perlawanan balik), diculik dan dibunuh. Sedangkan anak-anak mereka dicuci otak dan disesatkan sehingga masuk dalam kelompok radikal Islam, jika ada yang melawan mereka pun akan mengalami hal yang sama dengan orang tua mereka.

"Pada Oktober 2006 - pada abad ke 21 ini - seorang remaja 14 tahun disalibkan di pusat Kota Barsa," kata Taimoorazy memberi salah satu contoh kecil akibat dari perlawanan pemuda Kristen terhadap kelompok Islam.

Aktifis Hak Asasi Manusia (HAM) di Mesir, Cynthia Farahat juga memberikan kisah mendetail tentang nasib umat Kristen di Mesir paska revolusi Mesir, umat Kristen Mesir (Koptik, Katolik, Injili dan Protestan) dinyatakan sebagai warga kelas bawah.

"Warga kelas satu di Mesir adalah pria muslim Sunni, warga kelas dua adalah wanita muslim Sunni, warga kelas tiga adalah pria Kristen dan warga kelas empat adalah wanita Kristen," lapor Farahat yang menambahkannya, sebagai warga kelas empat di Mesir, ia 'secara utuh' tidak mempunyai hak dimata hukum. (ChristianPost/Theird/JW/PRNewswire/TimPPGI)