Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Sentrum Manado : Dibom saat Perang Dunia II dan Dikunjungi Ratu Beatrix.
MANADO (SULUT) - Seiring dengan berakhirnya kekuasaan VOC pada awal abad 20, maka penanganan Gereja-Gereja yang ada di Indonesia menjadi urusan Pemerintah Belanda yang ada di Jakarta. Terdapat, empat Gereja yang besar, yaitu Gereja Protestan Maluku, Gereja Masehi Injili di Timor (Kupang), Gereja Protestan Indonesia Barat dan Gereja Masehi Injili di Minahasa.
Sejak tahun 1934, Gereja Protestan yang berada di Manado, Minahasa dan Bitung dinyatakan berdiri sendiri dengan sebutan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Gereja Sentrum Manado sendiri dikenal dengan nama Gereja Besar Manado, sesuai tulisan Grafland yang dibahas Prof Elly Manuhutu.
“Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, gedung tersebut pernah menjadi markas/pusat Manado Syuu Kiri Sutokyop Kyookai yang dipimpin Pendeta Jepang Hamasaki,” terang Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) Sentum Manado Pdt Frank J Sumerah STh.
Diungkapkannya, gereja Sentrum pernah dibom sekutu pada waktu Perang Dunia (PD) II. Sebab itu, dibuat tanda prasasti/tugu yang berada di sebelah kiri bangunan Gereja dan diberi nama Tugu Perang Dunia II, sebagai tanda bahwa sekutu pernah membom kawasan Indonesia Bagian Timur. “Pembangunannya membutuhkan sekira 3000 sak semen,” sambung Sumerah.
Pada tahun 1952, didirikan kembali sebuah gedung Gereja di lokasi yang sama, gedung dibangun dalam bentuk permanen, yang bangunannya seperti sekarang ini. Tipenya pun dibuat dengan corak khas Gereja Protestan yang ada di Belanda, “Bentuknya persegi, sebagai simbol menghadap 4 penjuru dan walaupun gereja ini sudah direnovasi beberapa kali, namun pondasi batu, beberapa dinding dan pilarnya masih asli,” jelasnya seraya menambahkan Ratu Beatrix dari Belanda dan Pangeran Claus pernah menghadiri perbaikan gereja ini, saat kunjungan mereka ke Manado pada tahun 1995.
Dipaparkannya, tahun pelayanan 1983-1992, Jemaat GMIM Sentrum Manado terdiri dari 47 kolom. Setelahnya, terjadi pemekaran empat jemaat yang baru yaitu Petra Mahakeret, Zaitun Mahakeret, Betania Mahakeret Timur dan Karmel Mahakeret Barat. “Sekarang terdiri dari 16 kolom dan berjumlah sekira 320 Kepala Keluarga,” terang Roy Rambing, salah seorang staf di kantor jemaat.
Menariknya, tiap hari minggu dilaksanakan ibadah khusus berbahasa batak sekira pukul 11.00 Wita. Namun, hanya tata ibadah yang berbahasa Batak, sedangkan khotbahnya tetap bahasa Indonesia. “Kami juga sedang mengusahakan pemugaran kembali pada Tugu Perang Dunia II tersebut dan sedang berkoordinasi dengan Dinas Pariwisata,” kunci Rambing. (Manado Post)