Sunday, 8 January 2012

Sunday, January 08, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Natalan yang Teduh diantara Buddha dan Islam di Lereng Merbabu.
UNGARAN (JATENG) - Di bawah guyuran hujan yang lembut, puluhan warga Dusun Thekelan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang bergerak menuruni tangga Gereja Pantekosta Di Indonesia (GPDI) yang terletak di sebuah tebing.

Ini adalah kebaktian Natal yang kedua, karena sebelum tanggal 25 Desember 2011, Natal telah dirayakan di salah satu rumah jemaat.

Di persimpangan jalan, Lestari (35) melambaikan tangan kepada jemaat lain menandakan ia harus berbelok ke arah yang tidak sama dengan rombongan jemaat.

“Sebenarnya sore ini hanya ibadah biasa, meskipun masih dalam suasana Natal, karena kemarin sudah dirayakan di rumah Pak Wuwuh sekaligus sebagai syukuran atas kelahiran anaknya,” kata Lestari.

Lestari lalu menggambarkan suasana perayaan Natal yang meriah, dan tidak hanya dihadiri jemaat GPDI, namun juga seluruh warga dusun.

“Warga di sini sudah biasa saling tolong dan menghormati, meski berbeda keyakinan, karena dari dulu sudah seperti itu dan tidak ada yang harus dipermasalahkan,” ia melanjutkan.

Perayaan Natal di rumah Pak Wuwuh lebih menyerupai sebuah perhelatan desa, karena nyaris seluruh warga mengambil bagian untuk membantu. Mulai dari menyiapkan tenda, memasak makanan, hingga menjadi petugas penyambut tamu dilakukan para tetangga yang tidak semuanya beragama Kristen.

“Kalau ibadah ya tetap dilakukan umat Kristen, tapi saat ibadah selesai perayaan Natal itu juga dinikmati bersama-sama seluruh warga dusun,” kata Pendeta Petrus Sukirman (56).

Di tengah keberagaman keyakinan yang ada, Pendeta Petrus Sukirman mengaku bahwa pertumbuhan jemaat semata-mata karena kasih karunia Tuhan.

“Saya melayani di sini sejak 1975 dan selama ini tidak pernah ada pertikaian atau permusuhan apa pun dengan tema agama karena bagi kami karakter Kristus-lah yang harus nyata dalam kehidupan,” katanya.

Dusun Thekelan berada di lereng utara Gunung Merbabu dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Dengan 175 keluarga, warga dusun ini terbagi dalam tiga keyakinan yang berbeda, yakni Buddha, Islam, dan Kristen.

Mayoritas penduduknya adalah buddhis, selebihnya umat muslim dan kristiani. Tiga tempat ibadah juga berdiri di dusun ini dan semuanya dibangun secara gotong royong tanpa membedakan kepentingan agama masing-masing.

“Saya ingat dulu saat saya masih remaja, seluruh warga membangun fondasi masjid dengan cara manual. Karena kondisi desa yang terjal, sebagian warga mengaduk pasir dan semen di ujung jalan, lalu ember adukan itu dikirim estafet. Semuanya bekerja, lelaki maupun perempuan, Islam maupun tidak Islam,” kata Parlan (36), Kepala Dusun Thekelan.

Perlakuan yang sama berlaku saat Wihara Buddha Bhumika membutuhkan perbaikan gedung. Demikian juga saat jemaat GPDI membutuhkan bantuan dana untuk melengkapi peralatan ibadah.

“Tahun 2006 jemaat gereja ingin membeli keyboard untuk mengiringi ibadahnya. Karena jemaat di sini semuanya bermata pencaharian sebagai petani yang sederhana maka harga keyboard itu terasa mahal,” kata Parlan.

Lewat inisiatif jemaat, mereka berusaha mengumpulkan tambahan uang dengan cara ngareng atau membuat arang secara tradisional. Hal ini pun melibatkan seluruh warga dusun karena proses ngareng dilakukan di dalam hutan Gunung Merbabu yang mereka tempuh sepanjang 3 kilometer atau dua jam berjalan kaki.

“Dari pra sampai pascaproduksi arang, kami lakukan bersama. Termasuk menjaga nyala api dan memadamkannya dengan tertib agar tidak sampai membakar hutan dilakukan dengan cermat oleh seluruh warga dusun,” tutur Parlan.

Tatanan sosial yang harmonis ini dipelihara secara turun-temurun, sehingga perbedaan keyakinan tidak pernah menjadi penghalang dalam interaksi seluruh penduduknya.

“Saat ada warga yang berganti agama, kami juga tidak pernah menganggap sebagai ancaman yang serius, karena itu hak paling hakiki dalam kehidupan manusia,” ujar Parlan.

Ketenteraman dusun menjadi prioritas utama dalam komunitas ini, pasalnya tradisi yang dibangun para leluhur mengajarkan penduduknya untuk saling menghormati sesama manusia.

Nilai-nilai kebersamaan dibangun di atas rasa kemanusiaan tertinggi yakni toleransi dan bukan penajaman perbedaan yang menghancurkan persaudaraan. (Sinar Harapan)