Friday 6 January 2012

Friday, January 06, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pdt Herman Awom : Dialog Jakarta-Papua untuk Akhiri Pertumpahan Darah dan Militerisme di Papua, Bukan Merdeka. JAKARTA - Miris rasanya mendengar dan membaca berbagai tuduhan tak berdasar dari kelompok-kelompok intoleran bermuka dua yang menganggap usaha Gereja-gereja di Papua dalam dialog 'Jakarta-Papua' sebagai usaha untuk melepaskan Papua dari Indonesia. Salah satunya melalui tuduhan aneh mereka: 'usulan referendum'.

Tak hanya puas serta berlagak tidak tahu dengan penderitaan dan ketidak adilan terhadap orang Papua, mereka malah menuduh Gereja mencari peluang diatas penderitaan warga Papua. Tanpa menyadari kalau mereka sendirilah yang telah merusak kedamaian dan menari diatas penderitaan minoritas di berbagai wilayah dinegeri ini. Akibat keinginan picik mereka mengganti Indonesia dan Pancasila dengan negara agama yang menganut hukum sepihak.

Terkait hal itu Pdt Herman Awom, dalam surel yang diterima TimPPGI dari Uniting Church Australia pada Jumat (27/12/2011) menyatakan. "Kami [Gereja-gereja di Papua] sedang mencari jalan kontruktif kedepannya".

Disampaikannya, gereja di Papua takkan menggubris suara-suara sumbang, namun berfokus menuntut keadilan atas warga Papua dari kejahatan yang dilakukan pemerintah dan bukan hal lain.

"Sebab untuk waktu yang lama orang-orang Papua telah dibantai oleh aparat keamanan." ujarnya saat menjadi undangan di Gereja Persatuan di Australia, Sydney, 22 Desember 2011.

Menurutnya, Gereja-gereja di Papua kini sedang mencari jalan lain untuk mengakhiri segala bentuk penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan warga Papua.

"Kami mencari peluang untuk berdialog dan peluang untuk duduk dalam meja negosiasi dengan Pemerintah Indonesia, untuk meminta [pemerintah] mengakhiri aksi kekerasan aparat keamanan" ujarnya sembari menambahkan pertemuan dari pemimpin Gereja-gereja di Papua dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Desember 2011 merupakan langkah awal dari proses menuju dialog Jakarta-Papua

Sehati bersuara
Pendeta yang pernah menjadi Wakil Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua pada tahun 2000 ini berharap, dengan diadakannya dialog ini warga Papua dapat merasakan keadilan dan kedamaian tanpa ada lagi pertumpahan darah.

"Satu hal yang penting yang harus dilakukan orang Papua, adalah 'satu suara' ketika proses dialog berlangsung" jelasnya.

Sedang terkait 'satu suara' untuk lepas dari Indonesia. Ditegaskan hal itu sudah tidak dilakukan. Sebab pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan bernegosiasi dengan hal itu, sebab hal ini merugikan Papua dan Indonesia, selain juga menambah jatuhnya korban tak berdosa.

Kendati demikian, ia menyatakan 'satu suara' yang Gereja-gereja di Papua sedang usahakan adalah agar warga Papua dan pemerintah Pusat dapat sehati menyelesaikan masalah Papua yang terlampau lama, tanpa ada adu domba dan provokasi dari kelompok-kelompok yang tidak berkepentingan.

"'Satu suara' sangatlah penting," katanya. "Ketika kita terpecah-pecah, kita akan lemah. Sehingga kami takkan mempersilahkan taktik 'hukum adu domba' dari masa kolonial yang telah menghancurkan kita, kembali dilakukan".

Adu domba intoleran
Pernyataan Pendeta Herman Awom yang penuh damai ini sangat berlawanan dengan pernyataan 'tiba-tiba' kelompok intoleran yang terkesan mencari muka dan mengadu domba. Mereka memandang masalah Papua hanya dari satu sudut pandang, yakni keinginan mempertahankan (baca: mengacaukan) Papua lewat jalan 'berperang atas nama agama' tanpa ada usaha untuk mencari titik damai dalam masalah Papua.

Hal ini akan mereka lakukan dengan berbagai cara, termasuk usaha mereka menjadikan Papua sebagai 'zona perang'. Hal ini pernah mereka lakoni di Ambon. Yang anehnya, provokasi dan adu domba ini mereka awali dengan balik menuduh balik para 'mualaf' yang turut menolak aksi 'berperang atas nama agama' mereka, sebagai seorang 'musuh' yang 'munafik'. Selain itu mereka juga mengungkit sejarah panjang, sembari mengklaim mereka sebagai 'pengunjung' yang lebih awal di Papua, yang sayangnya tidak berkontibusi apa-apa.

Encyclopedia Britannica, menyebutkan: kunjungan penguasa Islam Ternate ke Papua tak berarti apa-apa untuk mereka [kesultanan]. Sebab, tujuan utama mereka hanya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam Papua semata, sedang praktek keagamaan mereka dibatasi hanya untuk kalangan kesultanan saja. Tentunya hal ini, tidak memberi celah kepada rakyat jelata, apalagi warga Papua.

Usaha mereka 'mengislamkan' warga Papua mulai terjadi sejak tahun 1606. Ini hanyalah sebuah usaha Ternate untuk kembali menguasai jalur perdagangan yang baru disadari sangat menguntungkan, pasca kedatangan Portugis (1512), Spanyol (1606) dan Belanda (1607) di Maluku.

Tindakan berbeda dilakukan gereja baik Katolik maupun Protestan yang lebih awal menyebarkan keyakinan terhadap Tuhan di Papua. Menurut buku A History of Christianity in Indonesia (2008) oleh J.S.Aritonang dan Karel A. Steelbrink. Kekristenan datang ke Papua melalui Ordo Fransiskan (1520) dan Ordo Jesuit (1538) serta dua penginjil asal Jerman, Otto dan Geisler (1855).

Kedatangan mereka hanya dengan satu tujuan, yakni bekerja keras mengembangan sumber daya manusia Papua (dan Indonesia Timur) yang saat itu masih belum mengenal Terang.

Melalui pendekatan-pendekatan yang beradab yang penuh kasih dari para penginjil ini. Alhasil, berbagai perubahan dan perkembangan positif dilakukan warga Papua hingga sekarang, walau berbagai kebijakan sepihak pemerintah pusat yang merugikan Papua dan menguntungkan kelompok tertentu hingga kini masih nampak nyata. (TimPPGI)