Monday 23 January 2012

Monday, January 23, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) adakan Diskusi Aktual 'Gereja Menyikapi Pilkada'.
JAKARTA - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang bergulir diberbagai daerah di negeri ini sarat persoalan yang tidak mengedepankan proses demokrasi. Umat Kristen, dalam hal ini, Gereja, tergerak untuk memberi masukan dan kritik membangun dalam pelaksanaan Pilkada di wilayah-wilayah Indonesia.

Karena itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada Kamis (12/01/2012) mengadakan diskusi aktual: 'Gereja Menyikapi Pilkada', di ruang Sidang PGI, Salemba, Jakarta.

Seperti dipublikasikan PGI pada situs resminya, narasumber yang menjadi panelis diskusi adalah Jeirry Sumampow, Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI dan Dr. T. A. Legowo, Peneliti FORMAPPI dan Ketua Komisi Publikasi PP AIPI, periode 2008-2011. Serta dihadiri para pendeta, pemimpin beberapa Sinode Gereja, para teolog dari Komisi Teologi PGI, dan beberapa media Kristen.

Dalam makalahnya, Jeirry Sumampow memaparkan beberapa substansi masalah terkait Pilkada, antara lain:

Integritas penyelenggara: KPU, Panwas,l dan Birokrasi negara; Problem regulasi: Sinkronisasi dan Harmonisasi masih ada kekosongan dan tidak ada kepastian hukum; Persoalan khusus di NAD dan Papua; Konflik massa yang anarkis; Kontroversi putusan MK, dikresi MK, banyaknya gugatan dan beban MK, waktu peradilan yang singkat, melampaui kewenangannya, dll.

Anggaran tinggi yang menyebabkan biaya politik mahal dan mekanisme penganggaran kandidat membingungkan; Praktek politik uang dilakukan semua calon; Konflik Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; Pragmatisme rakyat dan partisipasi yang rendah; Partai politik gagal melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi dan sejauh ini belum tereformasi; Ketidakpastian elit politik dan pemainan kepentingan elit politik.

Banyak ironi nilai, misalnya kampanye anti korupsi, tetapi kemudian dia sendiri korupsi; Politik uang (transaksional) dan politik kekerabatan; Pilkada belum disemarakkan oleh calon perseorangan; Politisasi birokrasi dan pemanfaatan fasilitas birokrasi untuk Pilkada. Birokrasi daerah cenderung terkotak-kotak dan soliditasnya terancam; Lemahnya kontrol dan pengawasan rakyat. Sejak 2010 Lembaga Pemantau sangat kurang; Pilkada langsung terasa gagal menyejaterahkan rakyat.

Catatan Reflektif
Dari pemaparan masalah, diskusi tersebut menghasilkan beberapa catatan reflektif yang patut untuk diperhatikan, antara lain:

Konsilidasi demokrasi yang dialami daerah cukup bervariasi dan membutuhkan waktu yang agak lama. Pengalaman Pilkada langsung menunjukkan belum adanya korelasi positif terhadap pelembagaan demokrasi karena kepentingan elit atau aktor semata-mata untuk memperoleh kekuasaan.

Maraknya politik uang dan sifat opportunis dala Pilkada menghasilkan pemimpin yang tidak mampu melaksanakan kehendak rakyat. Meskipun ada yang baik, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Pengalaman Pilkada memberikan pelajaran bahwa tanpa keterlibatan elit atau aktor untuk berperan lebih aktif mendorong demokratisasi, proses konsolidasi demokrasi di daerah akan berjalan lambat. Karena itu, reformasi parpol dan peningkatan kualitas kadernya merupakan agenda ke depan yang harus kita dorong.

Agar demokriasi lokal tidak cenderung elitis, maka diperlukan penataan atau perbaikan, baik di tataran suprastruktur maupun infrastruktur politik. Artinya, diperlukan reformasi kelembagaan daerah, seperti reformasi birokrasi yang pro pelayanan publik.

Diperlukan pendampingan, pengawalan, dan pencerahan oleh CSO kepada komunitas-komunitas di daerah.

Cara kekerasan yang marak dalam Pilkada bisa membatalkan eksisnya demokrasi itu sendiri. Karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih sistematis melalui berbagai pendekatan untuk memutus mata-rantai kekerasan tersebut yang tidak kondusif bagi tumbuh-kembangnya demokrasi.

Publik perlu mendesakkan tuntutannya kepada para elit agar mereka aktif mendorong proses demokrasi, baik dalam proses pembuatan regulasi daerah maupun dalam praktek demokrasi lokal.

Mendorong pelembagaan demokrasi. Peran ini sebaiknya diambil oleh elit politik lokal, sebab meskipun posisi mereka sangat signifikan, namun peran mereka belum maksimal. Karena itu, masyarakat harus dilibatkan agar masyarakat merasa memiliki dan menentukan jalannya politik dan pemerintahan daerah.

Perbaikan regulasi dan penataan sistem peradilan Pilkada, baik sengketa hasil Pilkada maupun persialan dalam proses Pilkada, sehingga mendorong adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Pilkada. (PGI/TimPPGI)