Saturday 25 February 2012

Saturday, February 25, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Bukti Toleransi : Pulau Arar, Kampung Percontohan Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Suku di Papua Barat. SORONG (PABAR) – Ditengah intoleransi dan iri hati yang penuh dengki oleh kaum intoleran di Bogor dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia, masih banyak kantong-kantong kerukunan umat beragama di Indonesia yang menyejukkan dan mendamaikan hati. Selain di Jember, Manado, Kupang, Sitinjo , Semarang dan Denpasar, masih banyak lagi wilayah-wilayah multiagama yang hidup berdampingan tanpa pernah memandang suku dan agama yang disandang tiap warga.

Kampung Arar, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat contohnya, beberapa waktu lalua ditetapkan oleh Bupati Sorong, DR. Stepanus Malak, Drs. Msi. sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Suku di Papua Barat.
Seperti di tulis Ninoy N Karundeng pada Kompasiana, kampung kecil yang terletak di Pulau Arar seluas kurang dari 40 hektar ini, terletak sekitar 4 mil laut dari lepas pantai daratan Kepala Burung, Sorong.

Pulau yang indah dan penuh keajaiban ini menyediakan air tawar bagi daerah sekitarnya ketika ada kemarau panjang. Bahkan pada tahun 1980a-an, ketika terjadi kemarau panjang, masyarakat dari daratan Sorong mengambil air dari pulau ini termasuk juga sebuah perusahaan kayu lapis, Hendrison Iriana.

Kepala Kampung Arar, Faedar Rumbrawer berasal dari Suku Biak-Numfor saat ditemui , banyak bercerita tentang sejarah Pulau Arar.

Pulau Arar dihuni oleh 170 KK dengan sekitar 680 jiwa. Terdiri dari berbagai suku; Suku Moi, sebagai penduduk asli Sorong. Suku Biak-Numfor juga tinggal di pulau ini. Demikian pula suku asli dari Raja Ampat mendiami pulau ini sejak awal.

Sejarah pulau ini adalah sejarah keindahan hubungan manusia. Pada awalnya suku Biak-Numfor, yang sudah berasimilasi dengan penduduk Raja Ampat sekitar 300 tahun lalu memulai mendiami pulau ini.

Pada mulanya rumah-rumah penduduk hanya di dekat pantai, karena mata pencaharian penduduk adalah nelayan dan budi daya rumput laut. Namun seiring perkembangan ada pula yang menjadi pegawai negeri, pedagang dan lain-lain. Tingkat pendidikan di pulau ini relative tinggi, bahkan ada penduduk yang sedang belajar S-2 di Universitas Gajahmada.

Di pulau ini terdapat Sekolah Dasar dan SMP Negeri 1 Arar. Tingkat kesejehteraan penduduk relatif tinggi. Listrik mereka tersedia dengan genset fasilitas pemerintah dan juga swadaya masyarakat. Parabola bertebaran di seantero pulau.

Awalnya yang datang mendiami Pulau Arar adalah suku Raja Ampat yang beragama Islam. Mereka membangun komunitas di pulau ini. Namun suku Moi juga memeluk agama Islam. Perkawinan campur antar suku tak terelakkan dan hal yang biasa. Maka untuk meramaikan Pulau Arar, penghuni awal mengajak Suku Moi yang masih tinggal di daratan Kepala Burung untuk tinggal di Pulau Arar yang sudah relatif maju.

Mulai saat itu dikenal Moi Darat dan Moi Pantai. Nama-nama pulau di Raja Ampat berasal justru dari bahasa Biak. Suku Biak yang mengawali meninggali pulau-pulau di Raja Ampat. Kini prosentase pemeluk agama adalah 70 persen umat Islam, 30 persen umat Kristen.

Pusat peribadatan umat Islam di Pulau Arar terletak di Masjid An-Nuur. Imam masjidnya adalah Haji Yunus Mailibit, asli suku Moi, menceritakan bahwa pada awalnya masyarakat Islam saja yang tinggal di Pulau Arar. Meraka berasal dari suku-suku Raja Ampat dan Ternate.

Sedangkan umat Kristen berasal dari suku Biak-Numfor, untuk menjalin persahabatan dengan saudara-saudara yang beragama Kristen telah mendiami pulau itu, masyarakat Islam bersama umat Kristen membangunkan gedung gereja.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua Majelis Gereja GKI Tanah Papua Jemat Immanuel, Pendeta Marghareta Felis. Menurutnya suku-suku di seluruh Papua sangat penting. Namun, suku menjadi tidak penting ketika berbicara kerukunan umat beragama.

Mereka juga bangga dengan kerukunan umat beragama yang terjalin di kampung itu. Sebab tidak ada pemisahan berdasarkan agama. Hanya pekuburan saja yang dibuat terpisah demi alasan keagamaan.
Lingkungan tempat Gereja Immanuel berdiri, justru dikelilingi oleh puluhan rumah milik umat Islam sedangkan anggota jemaat tersebar di penjuru pulau tersebut.

Selain itu tidak ada jarak radius (peraturan buatan) yang harus dipatuhi untuk membangun masjid dan gereja sebab, menurut warga Kampung Arar, semuanya memiliki hak yang sama dalam beribadah sesuai dengan agama yang mereka yakini.

Renovasi gedung gereja dan masjid dilakukan bersama-sama. Perayaan Natal umat Kristen turut dimeriahkan oleh umat Islam. Demikian pula sebaliknya, perayaan Idul Fitri juga dimeriahkan oleh saudara-saudara kristiani. Misalnya saat takbir keliling kampung dengan obor, umat Kristen berbaur merayakan hari kemenangan umat muslim.

Hal yang sama juga terjadi di beberapa wilayah di wilayah Sorong, seperti di Pulau Kasim, dimana Gereja dan Masjid terpisah hanya dengan sebuah tembok saja. (Kompasiana/TimPPGI)