Wednesday 29 February 2012

Wednesday, February 29, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Cendikiawan Gereja Bethel Tabernakel (GBT) : Integrasi dan Eksistensi Kekristenan di Indonesia Terancam Luntur. BANDUNG (JABAR) - Ancaman terhadap lunturnya kesatuan umat Kristen di Indonesia kian merebak. Seperti ditulis blog GBT Lengkong Besar ada sembilan contoh kasus yang menjadi tanda-tanda kelunturan hubungan bersekutu dan kehadiran untuk bersama dalam persekutuan dalam Kristus, yang dikaitkan dengan pergumulan yang dihadapi oleh Jemaat Gereja Bethel Tabernakel (GBT) Lengkong Besar, yakni tuduhan tak berdasar kepada Pdt Haddasah Werner.

Kesatu, hamba Tuhan dipaksa untuk berhati-hati dalam menyampaikan firman Tuhan. Sebab warga jemaat atau (yang lebih buruknya orang diluar jemaat) dapat balik menggugat secara hukum hamba Tuhan tersebut, karena khotbah atau nasihat dari firman Tuhan tersebut tidak sesuai dengan pemahamannya sendiri. Termasuk juga masalah ijin sewa/kepemilikan penggunaan kebaktian, perselisihan keluarga pendeta dll.

Kedua, pendeta yang memiliki pengacara adalah perlambang hilangnya kebebasan pendeta dalam berkhotbah dan menyampaikan nasihat. Sebab secara langsung, hukum sekuler telah masuk dalam tatanan gereja.

Ketiga, organisasi Kristen di Indonesia hanya sekedar nama yang tidak memiliki otoritas, seperti yang dialami payung-payung organisasi gereja di Indonesia (PGI,KWI,PGPI, PGLII, GOI). Aspek legal dari dewan gereja dapat dikatakan tidak ada, sebab dewan gereja tidak mempunyai pengaruh apapun dalam menentukan keputusan mengenai agama Kristen. Sebab pemerintah dan aparat lebih percaya kepada pejabat di Kementrian Agama, sehingga penyelesaian perkara tentang iman Kristen tidak lagi melalui jalur agama dan budaya, melainkan lewat jalur hukum sekuler.

Keempat, kurangnya penghargaan antar denominasi dan sinode Gereja. Sebab ketika payung organisasi gereja di Indonesia dikatakan tidak mempunyai otoritas, maka sinode dan denominasi pun tidak punya otoritas. Hal ini terbukti dengan kasus Pdt Haddasah Werner yang ditahan karena penilaian saksi ahli bukan dari sinodenya.

Konsep kemajemukan Kristen yang seharusnya menjadi kebhinekaan dan kekayaan ternyata realitanya hanya idealisme pengkotakan. Semua gereja bergerak tapi hanya dikotaknya saja tidak ada perjuangan bersama Kristen secara Nasional. Antar denominasi saling mencemooh dan memperkarakan hal sepele yang tidak membangun kekristenan di Indonesia

Kelima, media Kristen [kadang] tidak proporsional dan malah menyalin berita dari media sekuler yang lebih banyak memiliki tendensi untuk menjatuhkan kekristenan. Kebiasaan untuk mencari sensasi dan berita panas tanpa ada penyelidikan ikut menular ke media Kristen, sehingga pada kasus Pdt Hadassah Werner sebagian media Kristen ikut terjebak dalam usaha mempemburuk kekristenan di Indonesia.

Keenam, umat Kristen mudah percaya gosip, sehingga mudah dipengaruhi oleh tuduhan-tuduhan sensasional tanpa ada dasar iman Kristen. Kini, banyak dari orang Kristen sendiri yang malah menjatuhkan pendetanya daripada menolong, membantu dan mendoakan agar masalah-masalah dalam yang dialami oleh pendeta atau gereja tersebut cepat terselesaikan.

Ketujuh, Gereja-gereja di Indonesia tertidur dan tidak peduli dengan masalah dalam gereja lokal dan nasional. Gereja-gereja di Indonesia tidak melakukan perlindungan terhadap anggota jemaat dan hamba Tuhan. Sehingga, mudah diserang oleh kelompok diluar gereja. Selain itu pengurus organisasi gereja kurang melek terhadap politik dan wawasan ketahanan negara dan malah meminta bantuan dari organisasi diluar gereja, bukannya meminta dukungan doa dari gereja-gereja lainnya di Indonesia.

Kedelapan, gereja [kadang kala] dimiliki oleh keluarga, sehingga ketika terjadi pengaturan dalam gereja atau sinode menyangkut pendeta, pengajar, pengurus dan lain-lain, hal itu ditentukan oleh keluarga pemilik (pendiri gereja). Seringkali masalah-masalah di dalam kepengurusan gereja sebenarnya adalah masalah keluarga bukan murni masalah sinode.

Kesembilan, gereja kehilangan hubungan harmonis dengan sinode atau pengurus gereja pusat akibat 'ikatan yang tidak jelas'. Ikatan antara gereja dengan sinodenya yang semula sebagai ikatan tubuh Kristus yang bersekutu, bersaksi dan melayani, sekarang berubah menjadi ikatan manajerial, ikatan kepatuhan, ikatan administrasi serta ikatan doktrin. Sehingga, saat terjadi masalah di suatu gereja, gereja pusat atau sinode pusat menempatkan diri lebih sebagai puncak management bukan sebagai pelayan Kristus dan memperlakukan cabang gerejanya sebagai bawahan. (GBTLengkongBesar/TimPPGI)