Saturday, 4 February 2012

Saturday, February 04, 2012
1
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mohon Doa! Penduduk Asli Tanah Papua Terancam Punah.
JAYAPURA (PAPUA) – Sebuah pergumulan yang memilukan dialami oleh penduduk asli di Tanah Papua, dari tahun ke tahun, penduduk asli yang menjadi pemilik tanah yang diberkati oleh penginjil Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geisler pada 5 Februari 1885 ini mengalami penyusutan drastis.

Penduduk asli di Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2010 berkurang menjadi 30 persen, sedang penduduk pendatang 70 persen. Hal ini secara resmi menyatakan penduduk asli Papua merupakan minoritas di tanahnya sendiri.

Data dari persentasi itu dikatakan kepala Bapeda Propinsi Papua, Alex Rumaseb dalam bedah buku berjudul ‘The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 Tahun Otsus Papua’ karya Anthonius Ayorbaba, pada Senin (09/01/2012) di Jayapura.

Sembari menegaskan bahwa mayoritas orang yang secara langsung dan tidak langsung menikmati dana otonomi khusus di Papua adalah para pendatang yang bermigrasi ke Papua. Rumaseb menambahkan, para pendatang yang kebanyakan merupakan orang miskin dari Indonesia barat ini telah lebih banyak ‘mendapatkan kembali’ uang, bahan bangunan dan bahan makanan yang seharusnya diberikan kepada penduduk asli Papua.

Di tempat berbeda, Pastor John Djonga, dari Paroki St Michael Waris dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu, mengatakan salah satu bentuk dari penyusutan penduduk asli Papua terjadi di Kabupaten Keerom.

“Di Waris hanya ada satu dusun, ada 16 atau 17 KK diatur oleh TNI di mana ada 20 anggota TNI juga tinggal di sana bersama masyarakat. Daerah ini daerah ‘merah’ karena menjadi tempat persembunyian OPM,” papar Pastor John Djonga.

Pastor Djonga, peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2009 yang juga aktifis kedamaian ini menyatakan keprihatinan mendalam dengan kondisi terakhir di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, karena penduduk asli tidak lagi mempunyai lahan yang dapat digarap, semuanya telah habis dikuasai oleh para pengusaha industri sawit yang pemiliknya merupakan berasal dari luar Papua. Selain juga pihak pengusaha juga tersebut lebih banyak mempekerjakan para pendatang asal Jawa.

“Daerah Keerom dari segi pendidikan, kesejahteraan, ekonomi dan kesejahteraan sangat terlantar. Sebagian besar orang Arso Keerom itu sudah tidak punya tanah. (Perkebunan) kelapa sawit PTP II melakukan penipuan dari (pengambil-alihan) 5.000 hektar menjadi 50 ribu hektar, setelah serah terima di sebuah hotel di Medan, setelah acara minum-minum dengan tokoh-tokoh adat Keerom,” katanya.

Berdasarkan hasil penelitian John Djonga dan Cypri J. P. Dale pada tahun 2011, dari 48,536 jiwa penduduk Keerom, nyaris 60 persen dihuni oleh penduduk pendatang. Persentasi penduduk asli Papua turun drastis dari 100 persen pada tahun 1963, menjadi 40 persen pada tahun 2010.

Komposisi penduduk ini menurutnya merupakan hasil dari program transmigrasi resmi Pemerintah, pembukaan lahan kelapa sawit, migrasi spontan terkait dengan kegiatan ekonomi dan pemekaran, serta migrasi para pegawai dan pejabat pemerintahan setelah Keerom menjadi kabupaten. Namun, situasi ini mengakibatkan banyak masyarakat asli lari ke Papua Nugini, karena merasa tidak lagi memiliki tanah adat.

Genosida dan Migrasi di Papua
Sejumlah Peneliti dari Universitas Yale, Amerika Serikat dan para peneliti di Australia pada tahun 2006, telah menyimpulkan bahwa di Papua sedang terjadi peristiwa pembantaian etnis (Genosida) Papua, dengan aparat keamanan bersama pemerintah Indonesia sebagai pelakunya.

Bukti ringkasnya adalah, pada tahun 1969 penduduk asli Papua berjumlah sekitar 8,000 jiwa dan Papua Nugini sekitar 6,000 jiwa.

Setelah Papua bergabung ke NKRI selama 45 tahun, penduduk asli Papua menjadi sekitar 1,500,000 jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah sekitar 7,500,000 jiwa.

Para peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 pemerintah Indonesia telah membantai orang asli Papua sebanyak lebih dari 10,000 jiwa.

Sedang Jim Elmslie seorang akademisi dari Australia dalam laporannya yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies pada tahun 2006 memperkirakan jumlah penduduk asli Papua di Propinsi Papua dan Papua Barat hingga akhir tahun 2010 akan mencapai 3,612,856.

Dalam laporan itu dirincikan bahwa jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1,505,405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84 persen. Sementara itu jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi presentase pertumbuhan penduduk non asli Papua pertahunnya 10.82 persen.

Hingga pertengahan tahun 2010, prediksinya jumlah penduduk asli Papua mencapai 1,730,336 atau 47.89 persen sementara pendatang mencapai 1,882,517 atau 52,10 persen.

Sedang pada akhir tahun 2010, ia memprediksi jumlah penduduk asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73 persen. Sedangkan pendatang mencapai 1,852,297 atau 51.27 persen. Sehingga jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854.

Prediksi Elmslie senada dengan hasil sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir tahun 2010 yang menyatakan jumlah penduduk Papua adalah 3,611,999 dengan 2,851,999 jiwa berada di Provinsi Papua dan 760,000 jiwa di Provinsi Papua Barat. Dengan kata lain pertumbuhan penduduk di Papua telah mencapai lebih dari 5 persen, sebuah hal yang tidak wajar bagi pertumbuhan penduduk di sebuah wilayah.

Selain itu Elmslie juga memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara umum akan mencapai 7,287,463 dengan pembagian: jumlah penduduk asli Papua 2,112,681 atau 28.99 persen dan jumlah pendatang 5,174,782 atau 71.01 persen.

Elmslie menyatakan indikasi melambatnya pertumbuhan penduduk asli Papua dibandingkan pendatang selain masalah sosial (HIV-AIDS, miras dan program KB) dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang merupakan bentuk-bentuk genosida, penyebab utama lainnya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar.

Mantan Gubernur Propinsi Papua, Barnabas Suebu, pada tahun 2010 di hadapan masyarakat asli Papua yang berkumpul di Jayapura, mendukung pengesahan SK MRP no 14 tahun 2009 yang menjamin hak kepada penduduk asli Papua sebagai ‘pemimpin di tanahnya sendiri’, mengakui adanya peningkatan penduduk yang tidak wajar di Papua.

“Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahunnya. Padahal normalnya 1%”, ucapnya sedih sembari mengharapkan penduduk asli Papua agar dapat menyikapi masalah ini dengan serius namun penuh bijak. (TimPPGI)