Saturday 4 February 2012

Saturday, February 04, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pertahankan Iman Kristen, 35 Umat Kristen Ethiophia Terancam Dideportasi Pemerintah Arab Saudi. JEDDAH (SAUDI) – “35 orang Ethiophia yang ditahan dan dianiaya pemerintah Arab Saudi akan dideportasi” kata Christoph Wilcke, peneliti senior terkait Timur Tengah di Human Right Watch (HRW) saat konferansi pers di Beirut, Libanon pada Selasa (31/01/2012).

Lebih lanjut dikatakan, bahwa beberapa orang dari 35 orang Kristen Ethiophia, masing masing 29 wanita dan 6 pria yang ditahan sejak pertengahan Desember 2011 lalu ini telah dipaksa memberi cap jari ke sebuah dokumen yang tidak diperbolehkan untuk dibaca. Selanjutnya aparat berwajib menyatakan 35 orang ini akan dideportasi. Sebagian besar dari mereka telah menetap di Arab Saudi lebih dari 16 tahun. Deportasi ini berlaku baik kepada mereka yang memiliki kartu penduduk yang sah maupun yang tidak.

Sedangkan tuduhan resmi yang diberikan pemerintah kepada 35 orang ini adalah pelanggaran atas peraturan ‘percampuran jenis kelamin dari orang-orang yang belum menikah dalam satu ruangan’ yang dilarang oleh pemerintah Arab Saudi. Ini dilakukan untuk menghindari tekanan internasional setelah pernyataan pemerintah Arab Saudi sebagai negara bertolerasi pada 2006 lalu.

HRW yang mewawancarai beberapa orang Ethiophia yang ditahan di penjara Buraiman, Jeddah , mendapati adanya perlakuan buruk dan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah Arab Saudi.

Para wanitanya, menurut salah satu wanita korban ketidakadilan itu, dalam dalam jangka beberapa hari dipaksa aparat keamanan dari negara kelahiran Islam ini dengan cara membuka baju dan dilecehkan. Aparat berkilah, hal ini dilakukan untuk ‘mencari benda-benda mencurigakan’. Sedang prianya, dianiaya dan dipukuli hingga tak berdaya.

Ke-35 orang ini juga mendapat penghinaan terhadap iman mereka dengan kata-kata ‘kafir’, ‘tak beriman’,‘tuhan kamu manusia’,‘orang terkutuk’ dan berbagai kata-kata kasar yang sering mereka gunakan untuk menyombongkan diri mereka.

Sedang salah satu wanita yang dipenjara, kepada International Christian Concern (ICC) beberapa waktu yang lalu menyatakan mereka dianiaya dan dilecehkan karena teguh mempertahankan iman mereka kepada Kristus.

“Kami tidak melakukan satupun tindak kejahatan. Kami dipenjara karena menyembah Tuhan pemilik surga dan bumi,” katanya.

Selain dianiaya, dilecehkan dan dihina di Penjara Buraiman, ke 35 orang ini juga mendapat ‘pelayanan’ diskriminatif dari aparat berwajib, enam orang prianya dipaksa tinggal di sebuah ruangan yang seharusnya hanya menampung dua orang saja.

Sedangkan sebagian besar wanita yang mengalami kesakitan akibat trauma dan penyakit yang disebabkan aksi pelecehan serta tidak bersihnya lokasi penjara. Mereka tidak pernah dirawat apalagi diobati.

Melanggar Janji Sendiri

Pada Juli 2006, pemerintah Arab Saudi kepada dunia internasional menjanjikan negaranya akan menghentikan aksi tekanan dan gangguan kepada umat beragama lainnya.

Dalam sebuah dokumen berjudul ‘Confimation of Policies’ yang dibuat sendiri oleh pemerintah Arab Saudi dan ditandatangai oleh Raja Abdullah, pemerintah Arab Saudi menyatakan akan “menjamin dan melindungi hak beribadah bagi semua orang, termasuk non-muslim yang mengadakan ibadah di rumah [anehnya di Indonesia, hal ini dianggap illegal],” dan “menyakinkan aparat keamanan [polisi agama di Arab Saudi] agar tidak menahan atau mengadakan pemeriksaan, memberikan hukuman dan melanggar kenyamanan terhadap rumah [yang melakukan peribadatan].”

Dokumen itupun menyatakan kesiapan pemerintah yang akan menyelidiki setiap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat. Sedangkan terkait pendirian gedung ibadah, selain masjid tetap dilarang.

“Pemerintah Saudi telah melanggar sendiri janji mereka menghormati agama lain. Pria dan wanita dari agama berbeda [35 umat Kristen Ethiophia] sendiri tidak dapat beribadah di Arab Saudi, sekalipun dirumah pribadi mereka,” ujar Wilcke.

Menurut Wilce, aksi ‘munafik’ pemerintah Arab Saudi ini harus dihapuskan, sebelum menyombongkan diri dengan mengklaim negaranya sebagai negara yang toleran dengan agama lain.

“Pemerintah Saudi perlu merubah [sekurangnya dan menghapus selebihnya] cara-cara intoleransi yang [masih] dilakukan mereka, sebelum mempromosikan adanya dialog antar agama di luar negeri.”

Terkait pernyataan pemerintah yang menyatakan 35 orang itu telah melanggar aturan yang melarang ‘percampuran jenis kelamin dari orang-orang yang belum menikah dalam satu ruangan’, menurut Shaikh al-Ghaith, seorang pakar hukum terkemuka di Arab Saudi, kepada HRW dikatakan larangan tersebut hanya dikenakan jika terjadi di ruang publik, sedangkan di lingkungan privat atau di dalam rumah, hal itu diperbolehkan. (HRW/TimPPGI)