Thursday, 15 March 2012

Thursday, March 15, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Patriakh Gregorius III Minta Eropa Upayakan Dialog Damai Selesaikan Krisis di Suriah. BERLIN (JERMAN) - Dunia memandang Homs dengan kuatir, menyaksikan penderitaan kota di barat Suriah itu. Berita tentang kekejaman dan pelanggaran HAM dalam skala yang mengejutkan membanjir dari kota itu sejak awal 2011. Diduga ribuan orang tewas.

"Pertumpahan darah tidak pernah merupakan cara yang tepat", kata pimpinan tertinggi gereja ortodoks Timur, Patriarkh Gregorius III, menanggapi kekerasan yang berlangsung setiap hari di tanah airnya. "Darah manusia dan nyawa manusia harus diselamatkan."

Sejak tahun 2000, pria 78 tahun itu menjabat sebagai Patriarkh, pimpinan tertinggi gereja ortodoks untuk Antiokhia dan seluruh wilayah oriental, dengan kedudukan di Damaskus. 10 persen dari 20 juta rakyat Suriah memeluk agama Kristen.

Pesan di kantong Patriarkh
Hari-hari ini Gregorius melawat ke Eropa. Dari Berlin ke Paris dan Straßburg, ke London dan Roma. Pria berusia lanjut dengan janggut putih itu memandang kunjungannya kali ini sebagai prakarsa pribadi.

"Saya tidak punya mandat dari siapapun", kata Gregorius. Mandatnya adalah untuk menolong sesama manusia, dan menunjukkan jalan untuk keluar dari situasi saat ini. Di Berlin ia melakukan pembicaraan dengan sejumlah anggota parlemen Jerman Bundestag, perwakilan gereja dan jurnalis.

Menurut Gregorius, semua pihak yang terlibat konflik harus menahan diri dan memilih jalan dialog. Ia mengharapkan prakarsa internasional lewat kunjungan dari mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Dan ia yakin, seusai pemilihan presiden di Rusia, jalur diplomasi akan kembali digiatkan terhadap Suriah.

Bukan pembela Assad
Pimpinan tertinggi gereja ortodoks Timur Tengah itu tak mau dipandang sebagai pembela Presiden Suriah Bashar al-Assad. Ini bukan menyangkut Assad sebagai pribadi, melainkan untuk membantu rejim memperoleh awal baru. Karena jika tidak, akan terjadi kekacauan, begitu kekuatiran Gregorius.

Ia mewakili posisi yang juga mendorong rasa skeptis di antara para mitra bicaranya. Misalnya ketika ia mengatakan bahwa kekerasan di Suriah sudah lama dilakukan dan tidak hanya oleh rejim.

Gregorius lalu merujuk pada perkembangan di Suriah sebelum kerusuhan dimulai. Sejak pengalihan kekuasaan kepada Bashar tahun 2000, rejim mengembangkan diri dan mengijinkan kebebasan yang relatif baru, bukan hanya di sektor ekonomi.

Referendum konstitusi akhir Februari, yang banyak dikecam dunia internasional, juga memungkinkan pendirian partai-partai politik. Dan Assad berupaya untuk membatasi kewenangan dinas rahasia. Perkembangan ini harus berlanjut, tuntut Gregorius.
Harapan hidup berdampingan

Di balik seruan untuk melakukan dialog, ada harapan dari Gregorius agar negaranya kembali pada hidup berdampingan antar pemeluk agama. "Muslim, Alevi dan umat Kristen di Suriah sejak lama hidup berdampingan," kata dia. Tapi kini, situasi kacau dan kekerasan meraja lela di negara itu.

Gregorius melaporkan banyaknya insiden kekerasan dan penyelundupan senjata, yang juga dilakukan oleh kelompok oposisi. Ia mencontohkan Daraya, tempat asalnya yang berjarak tak sampai 10 km dari ibukota Damaskus.

Di sana juga terjadi demonstrasi sejak beberapa bulan belakangan. Kelompok bersenjata membuat warga sulit menjalankan aktivitas keseharian. Sementara kehidupan di kota itu dikuasai rasa tak aman dan kriminalitas yang bukan hanya tanggung jawab pemerintah.

Akhir Februari, ketika dilakukan referendum tentang konstitusi baru, demonstran berusaha menghalangi -sebagian dengan cara kekerasan- agar warga tidak pergi ke tempat pemungutan suara.

Greorius berkali-kali menekankan situasi geopolitis negaranya, dan tekanan dari kekuatan-kekuatan besar di dunia. Hal ini menciptakan kubu-kubu dan dengan begitu mempertajam konflik. Suriah terletak antara barat dan timur, di antara lingkungan pengaruh kekuasaan besar dan regional, dan di antara aliran Islam yang berbeda-beda. "Suriah senantiasa merupakan medan bagi konflik internasional."

Skeptis terhadap Eropa

Gregorius skeptis melihat sikap Eropa terhadap Suriah. Berbagai kelompok oposisi, yang berunding dengan pemerintahan luar negeri dan mendapat dukungan dari mereka, tidak representatif bagi Suriah. Jika kelompok-kelompok itu yang berkuasa, "akan terjadi chaos", kata Gregorius sambil kembali menekankan kekutiran akan masa depan negaranya.

Beberapa tahun lalu, Gregorius III dengan sangat menarik membicarakan hidup saling berdampingan antara berbagai aliran keagamaan di tanah airnya. Tapi kini ia bersikap seperti pemantau yang mengkuatirkan eskalasi berdarah berikutnya.

Misinya, kata Gregorius adalah untuk mencari alternatif selain pergantian rejim atau perang saudara. "Eropa adalah mitra kita", kata sagt Gregorius, "bukan Amerika."

Karena itu, negara-negara Eropa harus mengupayakan dialog dengan kedua pihak dan bukan hanya dengan pihak oposisi. Demikian seruan Gregorius III yang akan ia bawa dalam lawatannya di Eropa sampai pekan depan. Setelah itu ia akan kembali ke Damaskus, ke negara dengan masa kini yang dramatis dan masa depan yang tak pasti. (DeutscheWelle)