Bantahan ini disampaikan Mgr Aloysius melalui surat klarifikasi yang dikirim kepada tokoh-tokoh lintas agama, pemerintah, dan pihak keamanan di Papua.
“Menyimak pemberitaan yang dimuat oleh sejumlah media online Islam (dakwatuna.com, Arrahmah.com) mau pun media cetak (Banten Post, Republika) dan elektronik (TVRI) tentang Kepala Suku Besar Asmat Masuk Islam, sungguh disayangkan karena tidak benar.
Mungkin ada benarnya bahwa ada orang Asmat dari Kampung Per bersama keluarganya sebagaimana diberitakan masuk Islam, tetapi bahwa dia adalah seorang kepala suku besar Asmat sungguh suatu kekeliruan atau kesalahan,” ujar Mgr Murwito dalam surat klarifikasi itu, seperti dilansir theindonesianway.com.
Menurut Mgr. Aloysius, pengakuan atau gelar Kepala Suku Besar Asmat yang diberikan kepada Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) tidak benar. Pernyataan atau pemberitaan itu adalah sebuah kebohongan publik karena tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada dalam kebudayaan suku Asmat sampai dengan saat ini. Gelar kepala suku hanya diberikan, berlaku dan terbatas dalam satu rumpun saja. Bahwa media kemudian memberitakan dia sebagai Kepala Suku Besar Asmat, adalah bentuk kebohongan belaka.
Berdasarkan dokument resmi Gereja Katolik Keuskupan Agats-Asmat, saudara Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) adalah warga biasa yang lahir di Per pada 13 Desember 1962 dan dibaptis dalam Gereja Katolik pada 31 Januari 1963 oleh Pastor Miller OSC. Sebagai saksi pembaptisan waktu itu adalah bapak Mikael Apakci. Data kelahiran dan baptisan ini tercatat dalam buku Baptis Paroki Ewer No. LB. IV. 5988, tahun 1963.
Pembohongan Publik
“Kami sangat menyesal dan menyayangkan berita yang sensasional itu. Berita ini hemat kami sangat tendensius dan provokatif, dimana dengan mengatakan bahwa Kepala Suku Besar Asmat masuk Islam seolah-olah semua orang Asmat telah masuk atau menjadi Islam. Kami mau mengatakan bahwa berita soal Sinansius dan keluarganya menjadi Islam mungkin benar tetapi bahwa dia seorang Kepala Suku Besar Asmat adalah suatu yang tidak benar, tidak objektif dan merupakan suatu kebohongan public yang direkayasa oleh orang tertentu, kelompok tertentu dan media yang memberitakannya,” lanjut Mgr Aloysius.
“Pemberitaan sensasional yang keliru atau salah ini, langsung mau pun tidak langsung, memiliki dampak religius, sosial dan kultural dalam kehidupan bersama di Asmat. Menyadari semua itu maka kami sebagai Uskup Keuskupan Agats yang adalah Pemimpin Tertinggi Gereja Keuskupan Agats – Asmat ingin menyampaikan beberapa klarifikasi dan harapan atau himbauan kepada kita semua khususnya MUI Asmat dan Kepala Penyelenggara Islam Kantor Kementrian Agama Kabupaten Asmat, demi terciptanya kerukunan, toleransi dan persaudaraan sejati dalam hidup bersama di tanah Asmat ini,” tutur Mgr Aloysius.
Mgr Aloysius juga mengharapkan agar pimpinan MUI dan Ketua Penyelenggara Agama Islam di Kantor Kementrian Agama Islam Kabupaten Asmat bisa meneruskan dan mengklarifikasi berita ini kepada media online dan sura kabar yang telah membuat pemberitaan yang tidak benar itu. Intinya bahwa Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) yang telah menjadi Islam setelah melalui upacara pengukuhan pada tanggal 19 Pebruari 2012 di Masjid Darussalam, Jati Bening, Bekasi, Jawa Barat dengan didampingi oleh Ustadz Fadhlan Garamatan dan Imam Masjid Istiqlal Ali Hanayiah, sesungguhnya bukan Kepala Suku Besar Asmat.
Jangan Isap Jempol
Keuskupan Agats juga meminta kepada saudara-saudari muslimin dan muslimah agar tetap menjaga toleransi, kerukunan dan persaudaraan antara umat beragama dan masyarakat di Asmat dengan menyampaikan, menyiarkan, mengajarkan, memberitakan segala sesuatu dan khususnya berkaitan dengan agama atau iman kepercayaan yang bersentuhan dengan agama atau kepercayaan lain secara objektif dan akurat.
“Jangan kita hanya menyebarkan berita bersifat isapan jempol, sensasional dan tendensius yang bisa berdampak pada disharmonitas dan konflik sosial di kalangan masyarakat Asmat dan Papua pada umumnya.
Perlu diketahui dan disadari bersama bahwa semua masyarakat di Asmat telah memiliki iman dan menganut agama atau kepercayaan tertentu (tidak ada yang kafir). Untuk itu mari kita saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam ranah hidup bersama dengan semangat persaudaraan dan toleransi,” tambahnya prelatus itu. (CathnewsIndonesia)