Tuesday 8 May 2012

Tuesday, May 08, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mgr John Philip Saklil : Ketimpangan Sosial yang Tajam di Semua Lini Jadi Penyebab Gejolak di Papua.
JAKARTA - Tanah Papua selalu bergejolak. Pertikaian dan konflik sosial hampir terjadi tiap hari di pulau paling timur Indonesia itu.  

Masyarakat pun tak henti menuntut kemerdekaan. Mereka tidak puas dengan bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil mengemukakan penyebab semua gejolak itu karena adanya ketimpangan sosial yang tajam terjadi di Papua. Ketimpangan terjadi hampir di semua lini kehidupan masyarakat.  

Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin terus melarat. Yang parahnya adalah masyarakat yang kaya itu kebanyakan pendatang, sementara masyarakat lokal terpinggirkan.

Ketimpangan sosial juga berupa hampir semua kekayaan tanah Papua dikuasai pemodal dan pihak luar. Sementara masyarakat lokal tidak diberi akses atau kesempatan untuk menguasai kekayaannya karena tidak punya modal dan kekuatan.  

Anehnya, hasil kekakayaan itu tidak dinikmati masyarakat lokal. Masyarakat tetap saja terisolir dan miskin. Sementara masyarakat pendatang seperti karyawan PT Freeport menikmati gaji yang sangat tinggi dan hidup sangat mewah.

Ketimpangan lainnya adalah elite dan pejabat di Papua hidup sangat mewah, sementara masyarakat di pedesaan hidup melarat. Pembangunan tidak sampai ke desa atau kampung, tetapi menumpuk di kota dan hanya dinikmati segelintir orang.

"Kalau dibawa ke persentasi, maka angka ketimpangan mencapai 75 persen. Ini yang menimbulkan gejolak. Ketimpangan terjadi di berbagai segi dengan investor besar dan masyarakat pendatang satu sisi dan masyarakat lokal di sisi lain. Tidak ada upaya adanya pemerataan pembangunan di tanah Papua," kata John di Jakarta, Senin (30/04/2012) malam.

Ia mengemukakan itu sebagai hasil analisisnya setelah delapan tahun memimpin Keuskupan Timikia. Sebagai putra asli Timikia, dia juga sangat memahami dan mengetahui persoalan yang terjadi di Papua.

Pemerintah Tidak Serius
Dia mengemukakan otonomi khusus (Otsus) memang sebagai satu jalan yang baik untuk mengatasi ketimpangan, sekaligus untuk membangun Papua. Tetapi sayangnya Otsus itu tidak dilengkapi dengan aturan dan kebijakan pendukung di lapangan.  

Otsus dilemparkan begitu saja oleh pemerintah pusat, tanpa ada aturan dan kemauan politik yang serius untuk membangun Papua.

Sebagai contoh dana yang digelontorkan terkait program Otsus sangat besar. Namun dana itu tidak diikuti aturan yang mendorong agar bisa sampai ke masyarakat setempat. Dana hanya menumpuk di elit dan pusat kota. Akibatnya, yang terjadi adalah perebutan dana otsus.  

Celakanya, perebutan dana itu terjadi di antara orang-orang yang masuk ke Papua berupa rebutan proyek.

"Semua orang ke Papua untuk rebutan proyek dan kekayaan tanah Papua. Dana yang mereka peroleh bukan untuk memajukan Papua, tetapi di bawa ke luar. Ini yang membuat Papua tidak maju-maju karena dananya tidak mengalir dan bergerak di tanah Papua, tetapi dibawa keluar," ujar pemimpin umat Katolik se-Keuskupan Timika tersebut.

Dia juga mengkritisi ide Otsus yang membaca Papua menurut kaca mata Jakarta (pemerintah pusat). Masalah Papua diselesaikan menurut pemahaman orang Jakarta. Partisipasi  masyarakat setempat sangat minim, bahkan hampir tidak ada.  

Akibatnya, masyarakat setempat tidak bersemangat untuk mensukseskan program Otsus. Apalagi Otsus hanya menjadi ajang rebutan proyek di tingkat elite dan orang luar.

"Otsus itu baik dan masih perlu diterapkan, tetapi harus disempurnakan. Harus ada peraturan-peraturan di lapangan yang bisa mengefektifkan program otsus. Peraturan daerah atau kebijakan lain untuk mendukung Otsus harus dibuat. Perlu juga melibatkan masyarakat setempat dalam menyusunya. Jangan melempar begitu saja tanpa ada peraturan yang mengaturnya," tutur John yang juga Ketua Komisi Kepemudaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI).

Dia juga secara khusus mengkritis kehadiran PT Freeport di Papua. Menurutnya, kehadiran perusahaan raksasa Amerika Serikat itu tidak memberikan perubahan banyak bagi masyarakat Papua.

Yang terjadi malah dia membentuk kota atau negara tersendiri di Timika. Kota yang dibentuk beda sendiri dan sangat jomplang dengan masyarakat sekitarnya. Kompleks PT Freeport sangat mewah dengan karyawan berpenghasilan tinggi.

Lampu-lampu listrik menyala di mana-mana dengan sangat megah.

Berbeda sekali dengan masyarakat yang berada di luar pagarnya, yang tidak mendapat penerangan listrik dan hidup sangat miskin. Mereka hanya menonton kemewahan kompleks Freeport.  

Kondisi ini tidak dipikirkan PT Freeport. Akibanya menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung pada gejolak.

Dia juga menyayangkan sikap negara atau pemerintah yang sangat lemah terhadap Freeport. PT Freeport dinilainya lebih mengendalikan negara atau pemerintah, baik di daerah maupun di pusat.  

Bukan sebaliknya negara Indonesia yang mengatur Freeport. Kondisi ini menimbulkan penilaian dalam masyarakat bahwa pemerintah lebih melindungi Freeport, bukan mempengaruhi Freeport untuk memajukan Papua.

Menurutnya, kenyataan seperti harus diubah. Pemerintah tidak bisa dikendalikan oleh PT Freeport. Dengan itu, Freeport bisa diharapkan untuk memajukan tanah Papua. Bukan membentuk kota atau negara tersendiri yang melahirkan ketimpangan yang tajam di Papua. (SuaraPembaruan)