Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mohon Doa! Milisi Pembebasan Suriah (FSA) / al-Qaida Lakukan Penghancuran Terhadap Suriah dengan Bantuan Arab Saudi, Amerika Serikat dan Persatuan Bangsa-Bangsa.
DAMASKUS (SURIAH) - Kemunafikan besar yang terjadi di Suriah, nampaknya 'sengaja' diabaikan oleh negara-negara barat dan media massa. Mengatasnamakan 'demokrasi' mereka mendukung pembantaian dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang menjadi korban dari ambisi dari mayoritas yang menginginkan penegakkan aturan diskriminatif di negeri yang dikenal dengan toleransi beragamanya, dibanding negara-negara Islam lainnya.
Dilaporkan Komisi Kebebasan Beragama dari Aliansi Injili se-Dunia / World Evangelical Alliance - Religious Liberty Commission pada Minggu (28/04/2012), umat Kristen bersama kelompok-kelompok minoritas (Islam Alawi, Islam Shia dan Suku Kurdi) yang membentuk 30 persen dari jumlah penduduk Suriah telah menjadi sasaran empuk penindasan dari kelompok Islam Sunni.
Sebab kelompok Islam Sunni yang bertopeng dibalik 'demokrasi' telah didukung Arab Saudi dan Amerika Serikat, serta atas restu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara tidak langsung memaksa pemerintah Suriah yang sah agar menyerahkan kekuasaan negara itu kepada kelompok Salafi dari Arab Saudi yang sebelumnya telah menguasai Mesir dan Irak (baca : Arabisasi Timur Tengah).
Sayangnya, ungkap laporan WEA, Amerika Serikat malah mendukung pengucilan suku Kurdi dari tanah kelahiran mereka dengan memerintahkan Turki untuk menekan dan membatasi suku Kurdi di perbatasan Turki-Suriah sehingga mereka tidak dapat mengungsikan saudara-saudari mereka dari Suriah.
Termasuk fakta baru-baru ini yakni, peristiwa ledakan bom berdaya tinggi di Idleb, Damaskus merupakan serangan bom dari al-Qaida, yang berada dibalik milisi pembebasan Suriah / Free Syrian Army (FSA), kelompok yang dibentuk untuk melawan pemerintahan resmi al-Assad.
Juga berita tentang penangkapan kapal 'Lutfalla 2' oleh pemerintah Libanon yang berisi ribuan senjata canggih beserta amunisinya yang dilaporkan merupakan kiriman dari dua pengusaha pendukung 'demokrasi Suriah' yang menetap di Arab Saudi.
Perdamaian dengan Senjata atau Dialog?
PBB beberapa saat yang lalu menyatakan 'gencatan senjata antara dua pihak yang bertikai' melaporkan, sekitar 9,000 orang telah tewas selama revolusi terjadi sejak Maret 2011. Namun, yang tidak PBB laporkan adalah perubahan bentuk protes dari kelompok liberal dan progresif yang awalnya murni untuk membuat pemerintahan di negara itu menjadi baik pada masa berikutnya, berubah menjadi konflik-konflik terhadap warga Suriah yang ditunggangi kelompok-kelompok ekstrimis dari Arab yang merubah negara mereka menjadi lahan politik dari ideologi yang rakus akan kekuasaan.
Disisi lain Pastor Gregorius Yohanna Ibrahim, Metropolitan Gereja Orthodoks Suria di Allepo, baru-baru ini kepada BBC mengatakan bahwa umat Kristen di Suriah menginginkan dialog sebagai penyelesaian masalah negara mereka.
"Termasuk mereka semua yang mewakili 'kelompok oposisis', bukan hanya mereka yang disebut-sebut pemerintah sebagai oposisi."
Sebab umat Kristen sejujurnya sangat mengharapkan agar, "tidak ada penerapan seperti yang terjadi di Irak, (pengucilan dan pemusnahan umat Kristen dan agama minoritas) juga umat juga merasa tidak nyaman dengan yang terjadi di Mesir baru-baru ini (penetapan Sharia Islam dan Pajak Jizya terhadap umat Kristen)."
Sejujurnya kami tidaklah takut dengan Islam, tegas Pastor Ibrahim, "tetapi yang kami khawatirkan adalah kekerasan kelompok ekstrimis yang tidak menerima sesama mereka (yang berbeda keyakinan)." (ASSIST/WEA/TimPPGI)
amerika serikat
arab saudi
asia
diskriminasi
krisis di suriah
PBB
Peristiwa
politik
suriah
tekanan kepada umat Kristen
timur tengah
WEA