Sunday 10 June 2012

Sunday, June 10, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP) : Hentikan Kekerasan dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua, Buka Pintu Dialog Damai Jakarta-Papua.
JAYAPUA (PAPUA) - "Kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua yang mengorbankan warga sipil maupun aparat keamanan dalam bulan Mei dan Juni 2012 meningkat tajam dalam jumlah signifikan. Kenyamanan dan ketenangan hidup umat Tuhan di Tanah Papua benar-benar terusik. Hak hidup rakyat sipil dan aparat keamanan dihilangkan tanpa alasan. Aksi-aksi kekerasan dan penembakan yang dilakukan oleh Orang Tak Dikenal (OTK) atau Orang Terlatih Khusus (OTK) ini sangat menyayat dan memilukan hati kita semua," demikian tulisan pembuka dari press release Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP) pada Kamis (07/06/2012) yang diterima TimPPGI melalui surel.

Ketua PGBP, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan hal ini menanggapi terjadinya berbagai aksi kejahatan dan kekerasan kemanusiaan yang tidak terkendali,  beberapa hari ini di Jayapura yang dianggap sebagai tolak ukur kemajuan dan keamanan Tanah Papua, juga beberapa kejadian lainnya di berbagai wilayah di Papua.

Dibeberkan, ada sekitar 17 kasus kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi selama dua bulan ini, dengan 9 kasus tersebut, korbannya merupakan masyarakat sipil yang non-papua serta aparat keamanan. Sisanya (8 kasus) adalah warga asli Papua.

"Apakah karena korbannya kebanyakan adalah non-Papua, maka akan menyudutkan orang asli Papua di tingkat nasional dan internasional bahwa orang Papua berjuang dengan kekerasan? Apakah orang asli Papua akan distigmakan atau dicitrakan jahat dan pembunuh?," tanya Yoman.

"Jawabannya: TIDAK. Tapi yang jelas dan pasti: soal kemanusiaan,kesamaan derajat, hak hidup, hak kenyamanan, harkat dan martabat manusia serta hak asasi manusia tidak ada alasan orang asli atau orang pendatang, dia warga sipil atau aparat keamanan. Martabat dan kehormatan manusia adalah di atas segala-galanya. Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah" lanjutnya.

Hal ini dikatakan menanggapi tuduhan kelompok-kelompok yang antipati dengan tuntutan warga Papua menegakkan hak-asasi manusia di tanah yang diberkati ini, sebab mereka seolah menutup mata dengan korban-korban dari penduduk asli Papua yang, semuanya diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh aparat keamanan sebagai pelaku utamanya, "ditangkap, ditembak, disiksa, muka dihancurkan dan leher dipatahkan dengan kejam" tulisnya.

Yoman menyatakan, semua kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua beberapa tahun yang lalu dan dalam bulan ini, belum ada satu kasus pun diungkap pelakunya. Sebab aparat penegak hukum sendiri juga sulit dipercaya karena mereka juga adalah pelaku pelanggar HAM. Sehingga penduduk asli Papua seolah dijadikan tumbal dari penyebab gencarnya aksi kekerasan ini.

"Untuk mengungkap kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Orang Terlatih Khusus atau Orang Tak Dikenal (OTK) atau Penembak Misterius (Petrus), saya percaya aparat kepolisian bisa mengungkap pelakunya, tapi polisi sendiri tidak bisa mengumumkan itu," katanya selanjutnya memaparkan setidaknya ada dua hal yang akan terjadi paska ramainya kasus ini, "pertama, Kapoldanya dipindahkan untuk menghilangkan jejak kasus itu. Kedua, orang asli Papua dijadikan "kambing-hitamkan" sebagai pelaku kekerasan dan kejahatan."

Ia juga mempertanyakan sikap aparat keamanan yang tidak pernah menjelaskan dengan terbuka senjata yang digunakan OTK tersebut.

"Tapi patut dipertanyakan adalah senjata yang digunakan adalah senjata berkaliber 'canggih'. Apakah penduduk asli Papua mempunyai kemampuan untuk membeli itu?"

Ia juga menyatakan, para pelaku kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh OTK dan PETRUS ini hanya dilakukan jika ada pihak ketiga yang netral, salah satunya adalah misi kemanusiaan dan perdamaian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Supaya ada netralitas dalam menjaga keamanan dan kedamaian dan mengungkap kasus-kasus kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua. Misi intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) dari PBB bisa saja terjadi di Tanah Papua kalau OTK dan PETRUS tidak menghentikan kekerasan ini. Dan juga kalau aparat penegak hukum tidak mengungkap pelaku kejahatan yang sebenarnya. Dan terutama, tidak memberikan jaminan perlindungan kenyamanan warga sipil dan juga aparat keamanan sendiri." ungkapnya.

Segera Laksanakan Dialog Damai
Selanjutnya Ada empat titik penting yang menurutnya dapat digunakan untuk menghindari kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua.

Pertama, OTK dan PETRUS harus segera menghentikan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan karena tindakan-tindakan yanag jahat ini tidak cocok dan juga tidak relevan dalam alam demokrasi dan keterbukaan sekarang.

Kedua, yang jelas dan pasti: menangkap penduduk asli Papua, memenjarakan dan menembak orang asli Papua bukan merupakan solusi yang tepat, manusiawi, tapi itu tindakan aparat keamanan yang tidak menunjung tinggi nilai keadilan, maka membangkitkan ideologi, nasionalme kebersamaan yang kuat dan juga membangun simpati solidaritas kemanusiaan dari berbagai kalangan di Indonesia dan masyarakat internasional;

Ketiga, kekerasan akan melahirkan kekerasan dan kejahatan yang lebih besar. Oleh karena itu , Presiden Republik Indonesia, SBY, segera membentuk TIM Khusus untuk dialog damai  [yang masih ditunda hingga kini] antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga. Diharapkan semua perbedaan pandangan dan kompleksitas masalah Papua dibawa dalam meja dialog untuk mencari penyelesaian yang damai, menyeluruh dan bermartabat.

Keempat, semua warga sipil dan aparat keamanan ada di Tanah Papua, baik orang asli Papua maupun non-Papua, kita mempunyai kewajiban etis, tanggungjawab moral dan iman, tugas untuk menjaga tanah Papua sebagai rumah kita yang damai. Kita bersama-sama harus hidup rukun, damai dengan menghormati perbedaan pandangan politik, ras, etnis dan budaya. Kita bersama-sama juga melawan kekerasan, kejahatan,ketidakadilan, diskriminasi dan eksploitasi yang merabik-rabik dan merendahkan martabat dan kehormatan hidup manusia. (TimPPGI)