Wednesday, 15 August 2012

Wednesday, August 15, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Kegagalan Tokoh-Tokoh Agama dalam Melayani Umat Berpengaruh Menciptakan Radikalisme.
JAKARTA - Tokoh-tokoh agama ikut berperan dalam menciptakan krisis yang menghantam Indonesia saat ini, salah satunya adalah radikalisme agama yang cenderung meningkat, demikian kata Tamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Diskusi itu bertema 'Bangkit Bersatu, Pulihkan Indonesia' diadakan oleh Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), dalam rangka menyambut HUT RI ke-67 di Jakarta kemarin.

“Tokoh-tokoh agama lebih sering menggunakan pendekatan elitis terhadap umat. Akibatnya, mereka senang melayani umat yang ada di hotel-hotel dan mal-mal, lalu lupa dengan umat yang ada di pinggiran dan di kampung-kampung. Padahal, daerah-daerah pinggiran dan kampung-kampung yang dipenuhi warga miskin menjadi lahan bertumbuhnya radikalisme agama”, katanya.

Ia menambahkan, “Kegagalan tokoh agama terjadi ketika mereka melupakan orang-orang kecil yang sebenarnya butuh arahan, butuh tuntunan. Karena kurangnya perhatian, maka mereka cepat dipengaruhi ketika ajaran-ajaran radikal masuk”.

Karena itu, kata Tomagola, agama-agama tidak boleh mengabaikan lingkungan warga miskin dan minim pendidikan yang rentan sekali terhadap lahirnya radikalisme.

“Butuh reorientasi tokoh-tokoh agama untuk merangkul mereka”, tegasnya.

Sementara itu, Siti Musdah Mulia, Direktur Eksekutif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan, faktor lain yang memicu menguatnya radikalisme adalah kurangnya daya kritis tokoh agama dalam menyampaikan ajaran.

“Perlu selalu ada reintrepretasi terhadap ajaran agama agar akomodatif dengan nilai-nilai kemanusiaan”, katanya.

Menurutnya, radikalisme tumbuh karena dukungan pola penafsiran tekstual teks-teks kitab suci oleh pemimpin agama.

“Penafsiran tekstual sering melupakan konteks. Akibatnya, kata-kata kitab suci dicomot begitu saja tanpa adanya interpretasi dan kemudian dipakai untuk menjustifikasi sesuatu, termasuk aksi-aksi kekerasan”, jelas tokoh Muslim pluralis ini.

Ia menegaskan, siapapun dan dari agama manapun yang masih menganggap kekerasan dan permusuhan terhadap orang lain sebagai bagian dari keyakinan agamanya, sesungguhnya menujukkan ketidakdewasaan dalam beriman.

“Sayang sekali, ketidakdewasaan seperti ini juga dipraktekkan oleh tokoh-tokoh agama di Indonesia. Memusuhi agama lain masih menjadi bagian dari ajaran-ajaran tokoh-tokoh agama, baik di rumah ibadah maupun saat menyampaikan ceramah-ceramah”, jelasnya.

Sementara itu, Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe , Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengatakan, radikalisme juga didukung oleh lemahnya peran pemerintah.

“Penegakan hukum yang lemah, membuat radikalisme makin menguat. Yang melakukan tindakan kekerasan terhadap penganut agama lain tidak ditindak tegas dan diberi hukum yang berat, bahkan ada tendensi pembiaran oleh Negara”, katanya.

Karena itu, menurutnya, tokoh-tokoh agama dan pemerintah perlu bekerja sama agar Indonesia bebas dari radikalisme.

“Kalau tidak, dalam waktu dekat kita akan pecah berantakan”, tegasnya. (UCANIndonesia)