Sunday 12 August 2012

Sunday, August 12, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pimpinan Agama harus Berperan Aktif Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua.
JAKARTA - Pimpinan agama-agama harus berperan aktif dalam upaya menyelesaikan konflik-konflik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelanggaran hak-hak sosial, ekonomi serta budaya masyarakat di Papua, demikian kata aktivis HAM kemarin.

Yosep Stanley Adi Prasetyo, salah satu komisioner dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengungkapkan, penyelesaian konflik-konflik di Papua tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, karena menurut pengalamannya saat bertemu langsung dengan warga di sejumlah daerah pedalaman Papua, mereka mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah.

“Hal ini terjadi karena mereka merasa terus menghadapi intimidasi dan tekanan dari pemerintah sejak mereka bergabung ke dalam negara Indonesia”, katanya dalam diskusi bertema “Peran Tokoh Agama dalam mewujudkan Papua Tanah Damai” di Kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Diskusi yang diadakan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau KWI ini diikuti oleh anggota Komisi Keadilan dan Perdamaian dari sejumlah tarekat religius, perwakilan agama-agama dan dari beberapa LSM.

Menurut Prasetyo, langkah pemerintah lewat pendekatan keamanan dalam menangani persoalan di Papua melahirkan resistensi yang berujung pada kebencian dan kecurigaan terhadap pemerintah.

“Hal ini diperparah oleh situasi yang tidak memungkinkan warga Papua untuk  menegaskan diri. Setiap bentuk protes mereka terhadap pemerintah, entah terhadap kebijakan pembangunan maupun pendekatan keamanan yang hingga saat ini menempatkan 14.000 TNI di seluruh Papua selalu dicap sebagai bentuk gerakan separatis”.

Karena itu, menurutnya, tokoh-tokoh agama mesti mengambil peran penting baik dalam pengungkapan kasus-kasus kekerasan, advokasi maupun pemulihan korban-korban kekerasan.

“Selama ini peran tokoh-tokoh agama belum optimal, padahal mereka merupakan figur yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Papua dan merupakan sosok yang sangat mereka hargai”, katanya, seraya menambahkan, terkait pengungkapan kasus-kasus kekerasan, “tokoh-tokoh agama bisa menjadi mitra Komnas HAM untuk memberi informasi tentang kasus-kasus yang terjadi”.

Menurut Prasetyo, upaya pengungkapan masalah kekerasan menjadi salah satu kunci upaya menuju “Papua Tanah Damai” yang sejak tahun 2003 diperjuangkan.

“Tanpa perdamaian, warga Papua akan sulit untuk bebas dari rasa benci terhadap negara Indonesia dan merasa sulit untuk bangga menjadi orang Indoesia”.

Pastor Neles Kebadabi Tebay, imam aktivis asal Papua menjelaskan, inisiatif agama-agama dalam membantu penanganan konflik di Papua memang sudah muncul.

“Namun, persoalannya, para pemimpin agama belum bersatu. Gerakan-gerakan yang selama ini muncul, masih menjadi gerakan-gerakan individu, belum menjadi gerakan institusi. Akibatnya, gerakan-gerakan tersebut tidak terlalu kuat”, katanya.

Ia menambakan, di Papua memang ada Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA), namun anggotanya belum solid dalam bekerja sama.

Ia mengatakan, faktor lain yang menghambat adalah adanya ketakutan sebagian tokoh agama akan ancaman polisi dan militer bila bersuara dengan lantang.

“Ada beberapa yang mengalami ancaman, sehingga takut nyawanya hilang”.

Adanya ancaman terhadap pejuang HAM diakui oleh Pastor Yohanes Djonga, aktivis HAM yang mendapat Yap Thiam Hien Award 2009 karena upayanya dalam melawan praktek kekerasan di Papua.

“Selama berjuang bagi warga Papua, saya kerap mendapat ancaman serius. Bahkan saya pernah mendapat SMS berisi ancaman akan dikubur hidup-hidup bila terus menyuarakan persoalan kekerasan”, ujar imam yang kini bekarya di pedalaman Papua ketika dihubungi ucanews.com. (UcanIndonesia)