Tuesday, 4 September 2012

Tuesday, September 04, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Bersama Koalisi Penegakan Hukum dan HAM di Papua Nilai Penangkapan Terkait Bentrok Organda, Tidak Benar . JAYAPURA (PAPUA) - Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua menyatakan, tindakan penangkapan serta penahanan terhadap penghuni Asrama Pdt. Liboran dan salah satu mahasiswa bernama Yali (YL) yang dituding pelaku dibalik kematian Piet Penturi (69) warga Organda, Minggu (26/08/2012) lalu, tidak prosedural dan tidak benar. Berikut klarifikasi dari tim koalisi tersebut.

Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua meliputi KontraS Papua, KPKC Sinode Papua, dan tim kuasa hukum di Jayapura. Koordinator Keutuhan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) GKI Sinode di tanah Papua di Jayapura, Dora Balubun mengatakan, terduga YL yang dituding pelaku dibalik kematian Piet Penturi, tidak benar. Dalam kesaksian YL, ia mengaku saat itu itu ia membeli rokok di kios milik Piet. Ketika itu ia memberikan uang sebesar Rp 100.000. Setelah membeli rokok, ia menunggu uang kembali.

Sesudah itu, ketika hendak beranjak dari kios, ada telefon masuk ke handphone miliknya sehingga ia behenti tak jauh dari kios kemudian menerima telfon. Namun, suaranya terdengar besar sehingga ia ditegur oleh warga setempat. Lantaran ditegur, sambil menerima telepon, ia berjalan menuju ibu Nehemi, salah satu anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang juga tinggal kompleks Organda.

Namun, ketika dalam perjalanan, YL tiba-tiba didatangi beberapa orang tak dikenal kemudian langsung memukul dirinya. Selang beberapa menit kemudian, datang ketua RT setempat untuk menyelematkan YL. Sang ketua RT langsung membawa YL ke kantor Polsek Abepura. Saat dalam perjalanan ke Polsek, YL bertanya, ia hendak dibawa kemana. Namun, ketua RT tak menjawab pertanyaan YL.

Setiba di kantor Polsek, dengan nada tegas ketua RT menyatakan kepada polisi bahwa YL adalah pelaku pembunuhan Piet sekaligus otak dibalik kekacauan Perumahan Organda. Dari keterangan yang diberikan sang ketua RT, YL langsung ditahan. “Dari keterangan terduga, ia tidak bersalah. Tapi, dikabarkan dimedia masa dia pelakunya. Jadi ini yang kami mau klarifikasi,” kata Dora Balubun kepada wartawan saat menggelar jumpa pers di kantor KontraS Papua di Padang Bulan, Abepura, Selasa (04/09/2012).

Dari keterangan itu, Dora meminta kepolisian menyelidiki kasus ini dengan baik. Sebenarnya siapa yang membunuh opa Piet. Selanjutnya, siapa yang memprovokasi atau yang menyeting kasus tersebut. “Polisi harus chek kembali masalah ini dengan baik. Jangan bertindak sembarangan,” ujarnya.

Klarifikasi lain, saat YL dipukul, rekan-rekannya di Asrama Liboran mendengar informasi tersebut. Dengan demikian, lima orang rekannya langsung menuju Perumahan Organda. Tujuan kelima orang itu ke Perumahan Organda untuk mengecek YL bukan melakukan penyerangan. Ketika mereka tiba di Perumahan Organda, warga langsung menyerang mereka karena mereka sudah siap sedia.

Beberapa menit kemudian, kepolisian tiba dilokasi lalu langsung melakukan penangkapan. Tindakan polisi berlanjut ke Asrama Liboran. Karena, mendengar meterangan dari warga Organda bahwa  akan ada serangan balik dari penghuni asrama liboran. Padahal, sama sekali tak ada pemikiran untuk menyerang.

Tindakan pengeledahan dan penyitaan barang bukti oleh aparat kepolisian di Asrama Pdt. Liboran dilakukan tanpa menujukkan surat izin. Kepolisian juga melakukan penangkapan secara semena terhadap para mahasiswa dalam asrama. Bahkan, ada sebagian yang baru pulang gereja kemudian langsung ditangkap dijalan. Alhasil, polisi menjaring 36 orang. Dari 36 orang tersebut, lainnya sudah dipulangkan termasuk YL yang dituding dalang dibalik peristiwa itu karena tak ada bukti yang memberatkan dirinya.

Barang-barang yang disita polisi, sama sekali tak ada kaitannya dengan kasus kriminal. Saat itu, polisi menyita laptop, parang dan jubi serta panah. “Memang benar ada alat tajam namun diambil ditempat lain yakni di Asrama Liboran, bukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP),” kata koordinator KontraS Papua, Olga Helena Hamadi.

Olga menyatakan, tindakan polisi ketika itu tak profesional. Terkait masalah ini, pihaknya akan menyurati Kapolda Papua dan Kapolri. Selaku pengacara hukum, kata Olga, mereka juga akan menempuh langkah-langkah hukum lainnya sesuai aturan yang berlaku.

Terkait barang bukti menyangkut panah dan jubi, Olga meminta, kepolisian memahami budaya orang Papua khususnya warga Papua yang berasal dari wiayah pegunungan. Mata pencaharian warga Papua dari pegunungan adalah berburu dan berkebun. Jelas, panah dan jubi selalu ada setiap saat. “Kami harap, polisi mengerti budaya Papua. Jangan jadikan peralatan itu sebagai bukti kuat. Perlu cek korban Piet. Apakah ia meninggal karena ditusuk atau dibacok. Ini perlu diklirkan,” tuturnya.

Dari keterangan mahasiswa Liboran, tiga penghuni asrama yang ditangkap sementara dalam keadaan sakit. Saat itu polisi masuk ke kamar-kamar dan melancarkan gas air mata kemudian menangkap satu persatu. Sebagian diantaranya dipukul hingga babak-babak belur. “Ada tiga teman kami yang sementara sakit jadi istirahat di kamar tapi polisi masuk langsung tangkap,” kata Seblom Walilo, pengelola Asrama pendeta Liboran.

Lanjut dia, enam belas orang yang masih ditahan di kepolisian, rata-rata baru datang dari wamena untuk kuliah. Lainnya lagi masih duduk dibangku Sekolah Menengah Umum (SMU). Walilo mengaku, mereka resah dengan sikap polisi. Pasalnya, tak ada kejelasan namun langsung bertindak. Sejumlah fasilitas asrama dihancurkan.

Selain itu, setelah penggeladahan, beberapa barang milik penghuni asrama, hilang. Diantaranya, laptop sebanyak tiga buah, uang sebesar Rp. 5 juta dan hendphone sebanyak 7 buah. “Barang-barang ini hilang setelah penggeledahan,” ujarnya. Dia meminta, ada rehabilitasi nama baik asrama liboran.

Nehemi Yebikon, Anggota Majelis Rakyat Papua mengatakan pihaknya akan menindak lanjuti persoalan tersebut ke pihak-pihak terkait. “Kami akan berupaya untuk tindak lanjuti penyelesaian masalah ini ke pihak terkait,” ujarnya. (TabloidJubi)