Saturday 1 September 2012

Saturday, September 01, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Uskup Amboina Ancam Gunakkan Dukungan Internasional atas Kasus IPHH di Yamdena.
AMBON (MALUKU) - Uskup Amboina, Maluku, Mgr P.C. Mandagi MSC mengancam akan menggunakan kekuatan internasional bila pada akhirnya pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Pemprov Maluku dan Pemerintah Pusat tidak segera mencabut izin pengelolaan hasil hutan kayu di desa Watmuri, Kecamatan Nirunmas.

“Bila dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan, Pemkab, Pemprov maupun Pempus belum juga memutuskan untuk mencabut Surat Keputusan IPHHK milik PT Karya Jaya Berdikari, saya akan membawa persoalan ini ke tingkat internasional,” tegas Uskup Mandagi kepada wartawan menyikapi aksi pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat Desa Arma, desa tetangga Watmuri terhadap camp milik PT.KJB yang berbuntut penahanan terhadap 36 warga desa Arma oleh aparat kepolisian setempat.

Prelatus itu mengaku kesal atas tindakan kekerasan tersebut. Namun, aksi kekerasan itu mengajak pemerintah pusat (Kementrian Kehutanan), Pemprov Maluku dan Pemkab MTB yang mengeluarkan SK IPHHK di pulau Yamdena untuk meninjau kembali SK tersebut.

“Mungkin saja SK atau izin IPHHK itu diterbitkan akibat tindakan penyuapan pemilik PT. KJB kepada beberapa oknum pejabat pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga Pempus) yang bertugas mengeluarkan SK tersebut,” katanya, seperti dilansir ambonekspres.com.

Menurutnya, IPHHK di Pulau Yamdena telah menyengsarakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan tersebut. Hak ulayat masyarakat setempat telah dilanggar, malah diperkosa. Akibat adanya IPHHK itu, hutan di Pulau Yamdena semakin gundul, dan terjadi banjir di musim penghujan.

Akibat banjir tanah menjadi longsor dan masyarakat menjadi korban. “Sungguh IPHHK di Pulau Yamdena tidak berperikemanusiaan. Dan pantas dicabut,” tegasnya.

Kehadiran PT. KJB, lanjut Uskup itu, sangatlah tidak menguntungkan masyarakat, yang ada di Pulau Yamdena, tetapi hanya menguntungkan pemilik perusahaan dan beberapa oknum pejabat di pusat, provinsi dan kabupaten.

Belum lama ini, akibat kerusakan lingkungan, banjir dan tanah longsor memporak-porandakan masyarakat di Kota Ambon, Maluku Tengah, Seram bagian barat, Buru, Bursel dan telah menelan korban jiwa.

“Saya minta agar Pemkab MTB, Pemprov Maluku dan Pempus bisa mendengar jeritan dan suara rakyat terutama rakyat kecil di Pulau Yamdena dengan mencabut izin IPHHK milik PT Karya Jaya Berdikari,” pintanya.

Terkait dengan penahanan terhadap 36 warga Arma, Uskup menghimbau kepada aparat kepolisian setempat untuk memberlakukan mereka seadil-adilnya. Jangan sekali-kali ada oknum aparat kepolisian yang melakukan tindakan kekerasan kepada mereka.

“Kalau ada, oknum tersebut harus ditangkap, dihukum diadili, serta Kapolres dan Kapolsek harus bertanggungjawab,” pungkasnya.


Tuntut Pembebasan 
Di tempat berbeda, salah satu tim pengacara Tanimbar, Rikloof Lambiombir mendesak Polres MTB untuk segera membebaskan puluhan warga Arma yang saat ini masih ditahan di Mapolres.

Kendati demikian Kapolres MTB AKBP Bintang menolak keras untuk menangguhkan penahanan terhadap 36 orang warga Arma tersebut. Alasan Kapolres penahanan puluhan warga Arma tersebut demi kepentingan penyidikan dan belum ada landasan hukum yang kuat untuk membebaskan mereka.

Menurut Lambiombir, pembakaran lokasi kamp milik perusahaan PT. Karya Jaya Berdikari beberapa waktu lalu bukannya tanpa alasan. "Aksi itu merupakan bentuk pembelaan diri dan perjuangan mempertahankan hak ulayat mereka sebagai warga Arma yang ditindas pihak perusahaan," jelas Lambiombir saat menghubungi Ambon Ekspres.

Pembakaran kamp perusahaan sangat beralasan. Pasalnya, sesuai rapat kerja tahunan (RKT) 2012 milik perusahaan, penebangan pohon hanya berlaku desa Watmuri ternyata masuk di petuanan Desa Arma. "Ini yang memicu amarah warga, sebab pihak perusahaan sudah melampaui kewenangan dalam pengelohan hutan di kawasan itu. Ini jelas-jelas pelanggaran terhadap hak ulayat dan sudah masuk kategori illegal logging," kata Lambiombir.

Kendati pihak perusahaan telah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan RI di kawasan hutan Yamdena, namun secara teknis harus ada kesepakatan antara pihak perusahaan dengan warga setempat soal batas-batas pengolahan hutan. "Ini yang belum dilakukan pihak peusahaan, secara sepihak telah menyerobot hak ulayat warga setempat sehingga berbuntut pada persoalan yang terjadi seperti sekarang," jelas Lambiombir lagi. (UCAN/AmbonEkspress)